Kamis, 30 Juni 2011

Meneropong Bandung dari Caringin Tilu

Libur di tengah hari kerja? Mmmhh…bagaikan oase yang menyejukkan meskipun cuma sesaat. Saya pikir lumayanlah untuk merecharge energi yang sempat terkuras setelah 2 hari bekerja, tapi sepertinya hal tersebut belum berlaku terhadap saya. Karena ajakan dan bujuk rayu seorang sahabat akhirnya saya pun memutuskan untuk mengisi liburan yang hanya satu hari tersebut dengan cara bercengkrama dengan moda transportasi kereta api. Alternatifnya adalah Bogor, Jakarta Kota, dan Bandung. Mengingat tahun lalu kami sudah dibuat pusing lantaran berputar putar dengan angkot di Bogor hanya sekedar mencari Macaroni Panggang maka Bogor kami skip. Kebetulan minggu kemarin saya eksis di seputaran Kota Tua, Monas dan HI, kembali diputuskan tidak untuk tempat ini. Pilihan pun akhirnya jatuh pada kota kembang Bandung. Kamipun sepakat menggunakan Argo Parahyangan menuju Bandung dengan jadwal keberangkatan pukul 06.57 dari stasiun Jatinegara esok.


Pagi itu 29 Juni 2011 pukul 05.30…

Alarm handphone saya berbunyi tepat ditelinga saya dan sayapun dibuatnya terbangun. Haahhh, kesiangaaaan….!!!! Buru-buru cuci muka, gosok gigi, wudhu dan shalat subuh. Setelah menghadap-Nya dengan berbekal deodorant dan sedikit farfum sayapun langsung menuju stasiun tanpa mandi :). Pukul 06.14 saya berpapasan dengan Argo Parahyangan sebelum berhasil mencapai stasiun. Sempat dilemma apakah kami akan terus melanjutkan ide perjalanan nekat itu. Karena kami merupakan dua manusia lucu nan menggemaskan yang diberikan kesabaran luar biasa akhirnya dengan ini memutuskan untuk tetap melanjutkan trip ke Bandung  meskipun kereta berikutnya baru berangkat pukul 09.27 dari stasiun Jatinegara.

Musim liburan sekolah seperti saat ini membuat stasiun Jatinegara membludak, antrian memanjang bahkan sampai keluar stasiun. Antusiasme masyarakat untuk menggunakan moda trasportasi yang satu ini memang tidak pernah surut, faktor harga dan waktu merupakan salah satu alasan mengapa masyarakat masih bertahan dengan moda si ‘ular besi’ ini meskipun fasilitas yang diperoleh bisa dikatakan jauh dari kata ‘Layak’ untuk kereta api kelas Ekonomi. Pukul 07.30 loket pembelian dibuka, antri dan ternyata kursi untuk kelas Bisnis sudah habis terjual. Mau tak mau terpaksa kami membeli kursi Eksekutif dengan tarif Rp. 60.000/org. Agar memudahkan kami dalam hal kembali ke Jakarta kamipun membeli tiket kembali untuk kepulangan pukul 20.05 dari Bandung untuk kelas Bisnis dengan tarif Rp. 30.000/org….criiiiing.

Argo Parahyamgan
Selama prosesi menunggu kami sepakat untuk menuju stasiun Gambir sekalian melihat aktivitas masyarakat Jakarta ketika liburan. Masuk stasiun Jatinegara dan kami menumpang kereta api Argo Jati yang akan menuju Gambir. Sampai stasiun Gambir langsung menuju Monas. Hari itu Monas tidak begitu ramai, tidak seperti hari Sabtu atau Minggu biasanya. Menjelang pintu masuk ke areal Monas terlihat lalu lalang orang yang sedang berolahraga, empat orang  turis yang sedang mengambil gambar atapun orang-orang yang hanya sekedar menikmati Jakarta di pagi hari. Guna menyenangkan perut kami, kamipun segera membeli gorangan, intel goreng plus es jeruk. Beberapa saat kami selesai sarapan terdengar panggilan dari dalam stasiun untuk penumpang Argo Parahyangan segera menuju peron keberangkatan karena kereta akan segera bergegas mengepulkan asapnya meninggalkan Gambir.

Ketemu bocah lucu ini di dalam kereta
Ternyata kami berada digerbong kereta yang dibatik. Ada sedikit kebanggaan ketika saya mengetahui berada pada satu gerbong yang 'berbeda' hehehe. Pluit panjang terdengar nyaring dan Argo Parhyanganpun akhirnya melengking menandakan sang Argo untuk segera bergegas meningglkan stasiun ini. Sepanjang perjalanan mengalir begitu banyak cerita, mulai dari cerita sedih sampai dengan cerita konyol yang membuat kami tertawa. Perjalanan selama 3 jam tersebut seakan tak terasa karena kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa ciamik. Menjelang Purwakarta keindahan kembali ditorehkan sampai Cimahi. Dimulai dari areal pesawahan, sungai, gunung, bukit, jembatan dan terowongan seperti menjadi satu paket yang bisa kami nikmati dalam perjalanan ini. Pukul 12.27 kami tiba stasiun Bandung.

Untungnya saya masih menyimpan nomor telepon seorang rekan dari komunitas backpacker yang berdomisli di Bandung. Yups, saya hubungi Abie dan Abie dengan keikhlasannya menawarkan kami bantuan untuk menjelajah Bandung. Saya sebelumnya sudah menghubungi sahabat saya yang memang sedang berdomisli di Bandung juga, Krisna. Abie memberikan alternatif untuk menikmati kota Bandung, saya sendiri memang ingin merasakan suasana Bandung yang berbeda. Bukan dengan berbelanja di FO atau sekedar nongkrong di Mall. Mengingat saya sudah memesan tiket pulang mau tak mau saya juga harus berlomba dengan waktu. "Cartil, Punclut atau Bukit Bintang aja Gum, bagus tuh viewnya apalagi kalo malam", begitu kata Abie. Sayapun merespon dengan sumringah, dan mengiyakan untuk menuju Cartil alias Caringin Tilu.

Hujan yang mengguyur kota Bandung sore itu menebarkan hawa sejuk tapi yang saya rasakan malah cenderung kearah dingin :). Berbekal 2 motor kamipun menuju Cartil. Dari arah Gasibu, ikuti saja Jl Suci atau PHH Mustofa ke arah Terminal Cicaheum. Sekitar 100 meter sebelum Cicaheum atau tepat setelah Surapati Core di kiri jalan terdapat jalan  bernama Padasuka. Masuk aja ke jalan padasuka dan nanti kita akan melewat Saung Angklung Udjo. Teruskan saja berkendaraan, sekitar 3-4 kiloan baru kita bisa melihat Bandung dari sisi yang berbeda. Jalan menuju Cartil full of tanjakan dan tikungan dengan lebar jalan kira-kira hanya 4 meteran. Mengingat kondisi jalan yang licin sehabis diguyur hujan kami hanya memacu kendaraan 20-30 km/jam sampai akhirnya kami tiba pada sebuah tikungan dimana Bandung terlihat apik dibalut dengan pegunungan dan rumah penduduk yang semakin mengecil. Subhanallah...benar-benar indah, sayangnya sore itu Cartil berkabut sehingga pandangan kami menjadi terbatas. 

Nun jauh disana kota Bandung
Awan yang menggelayut di atas Caringin Tilu


Tak jauh dari tempat kami berdiri terdapat rumah makan Dapur Caringin Tilu, kamipun segera bergegas menuju tempat tersebut. View yang ditawarkan ditempat ini benar-benar menakjubkan. Bandung terlihat indah dari ketinggian. Kerlap kerlip lampu berwarna kuning keemasan segera berpijar tak kala senja menyapa. Menikmati makan malam dengan suguhan pemandangan kota Bandung benar-benar memberikan sensasi tersendiri. Suasana damai seperti ini hampir membuat kami terlena, kami harus kembali berpacu dengan waktu untuk kembali ke stasiun. Kereta yang membawa kami akan berangkat pukul 20.05 dan kami harus tiba sebelumnya. Pukul 19.47 kami tiba di stasiun, tak lupa kami berterima kasih pada kang Abie dan Krisna yang sudi memberikan kami suguhan yang luar biasa. 


Pukul 20.05
Argo Parahyangan meninggalkan Bandung menuju Jakarta, dan sayapun akhirnya terlelap...

Sabtu, 25 Juni 2011

Saya dan Es Potong

Siang itu saya memang tidak membawa bekal makan siang, bersama Dendy saya keluar mencari makan siang untuk memuaskan nafsu lapar kami. Kebetulan kantor saya berada di Jln Abdul Muis dekat dengan taman, entah apa namanya taman ini tapi disekitaran sini memang banyak sekali warung makan…maklum disini dekat dengan Kementrian DEPKOMINFO, DEPHUB dan DEPHAN, jadi beruntunglah yang punya usaha didaerah sini, duit mengalir terussss…mmmh, jadi kepikiran pengen punya usaha hehehe.
Mata saya akhirnya tertuju pada warung tongseng yang terletak diujung taman, tongseng kambing dengan harga perporsinya 12K. Setelah perut sudah mulai akrab dengan rasa kenyang sayapun duduk-duduk di taman tersebut, kembali mata saya tertuju pada gerobak yang bertuliskan es potong. Sudah lama tak mencicipi es ini, terakhir itu ketika saya masih SD. Dengan sumringah saya mendatangi tukang es tersebut dan membeli 2 potong rasa kacang hijau dan alpukat. 4K pun segera berpindah ke tangan abang tukang es potong dan lidah saya mulai menari diujung es.

Sensasi makan siang yang rrruuuarr biasaaa…setelah hampir 15 tahun akhirnya saya merasakan kembali es potong yang semakin terkikis oleh es komersil yang beraneka rasa, warna dan kemasan. Es potong tetaplah Es potong yang dengan kesederhanaanya mencoba bertahan ditengah zaman yang terus berlari.

Sayapun kembali menikmati es potong yang mulai mencair...

Senin, 20 Juni 2011

Gempa, Kawan Baru dan Desa Sawarna

Ngetrip lagi, hehehe....kali ini ke Desa Sawarna di kabupaten Lebak, Banten. Berbekal ponsel yang mengaku semi pintar akhirnya saya kembali memergoki adanya thread di Forum Backpacker Indonesia mengenai Sawarna. Thread yang diprakarsai seorang Abie dari Bandung ini ternyata menarik banyak minat. Melihat begitu banyak respon yang hilir mudik berganti menandakan keantusiasan menuju Sawarna, sayapun akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan ekspedisi ini. Kamipun sepakat menentukan meeting point di KFC Pajajaran depan Botanical Squre Bogor Jum'at malam pukul 20.00.

Hari itu 10 Juni 2011

Selepas bekerja sayapun diantar seorang rekan ke Stasiun Gambir, saya berencana menumpang kereta api ke Bogor. Beli tiket, bayar 11rb…criiing dan Pakuan Ekspress pun melaju. Tiba juga di stasiun Bogor pukul ½ 8 malam setelah satu jam berdiri lantaran tidak ada tempat duduk yang kosong. Naek angkot 03 ke arah Baranangsiang bayar 3rb…criiing dan akhirnya terlihat dengan jelas segerombolan makhluk dengan ransel plus tas kecil bergelayut dipundak duduk dengan rusuhnya di KFC. Meet and greet…Iwan, Ambar, Syarip, Esthi, Zaki, Agung, Widhi, Lulu, Cendy, Huda, Frida, Surya, Dedi plus Abah. Sambil menunggu rekan kami yang baru aja cari makan Bobby dan Tata kami pun pose di dalam terminal. Karna saya masih mengenakan batik dan belum sempat mengganti baju, sayapun dipanggil 'Pak Kades' hahaha. Tanpa buang waktu sayapun langsung berdoa semoga tahun depan saya benar2 jadi seorang KADES dan sudah ada Bu KADES di samping saya...amiiiiin.
Tata plus Boby akhirnya tiba, saatnya bus melaju meninggalkan Bogor dan bayar ongkos bis 20rb, criiiing. Well, semuanya berjalan sempurna sampai akhirnya kejadian ban bocor terjadi. Kamipun segera turun dan melepas penat sejenak. Selesai ban terpasang bus pun kembali berlari...namun ban serep yang tadi terpasang kembali berulah, kami pun turun kembali...padahal sudah deket Pelabuhan Ratu tuh. Untuk membius kami agar kami tidak jenuh sang awak bus pun memperdengarkan lagu-lagu yang membuat kami tersenyum, 'sobat kecil yang mengharukan' Doel Sumbang hahaha. Bus yang ugal-ugalan diawal karena kesalahan teknis akhirnya dibalap 2x oleh bus MGI. Bogor-Pelabuhan Ratu yang biasanya dapat ditempuh sekitar 2-3 jam menjadi 4 jam lebih...huffft.

 
Buspun akhirnya landing tepat didepan kantornya Dita di Jln Siliwangi Pelabuhan Ratu pukul 01.15 wib. Dita yang super duper baik menawari tempat kerjanya untuk kami singgahi untuk sekedar bermalam. Dua kotak martabak menyambut kami dengan hangatnya dan tanpa basa basi martabak tersebut sudah berpindah ke mulut kami  ;)


Abie, rekan kami yang berangkat dari Bandung bersama Dea, Dita dan Opik akhirnya tiba di Pelabuhan Ratu pukul 02.03. Kamipun berusaha melepas lelah dengan cara bergeletak berantakan mencoba mencari posisi wenak, sebagian sudah terkapar namun sebagian lagi masih terlibat pembicaraan seru. Sampai akhirnya azan Subuhpun berkumandang....

Selesai menunaikan kewajiban sebagian dari kami langsung bergegas menuju pantai sembari menanti datangnya fajar. 
 




Setelah melewati pasar ikan, kantor polisi dan jembatan Cibau kamipun tiba di pantai. Puas menghirup udara pantai kamipun kembali ketempat Dita. Dalam perjalanan pulang mata kami terpaku pada sebuah gerobak yang bertuliskan 'Bubur Ayam', tanpa dikomando bocah-bocah lapar ini langsung menjarah isi gerobak bubur ayam tersebut. Selesai menjarah tak lupa kamipun membayar bubur ayam yang sudah mencapai perut dengan uang 5rb...criiiing.

Mengingat jam operasional kendaraan yang menuju dan kearah Sawarna hanya brangkat pagi sekitar pukul 8.00 dan sore pukul 14.00 tentu saja membuat Dita memesan sebuah ELF untuk membawa kami ke Sawarna.  Sayangnya Dita tidak bisa ikut tapi kami yakin jiwanya Dita ikut ngegembel bersama kami ke Sawarna ;) ELF pun akhirnya meninggalkan terminal Pelabuhan Ratu.  Menyusuri pantai, tanjakan, belokan dan jalan berlubang membuat kami terombang ambing layaknya sedang menunggang odong-odong. Akang supir ELF tiba-tiba menghentikan kendaraannya di Pantai Karang Hawu. Bisa dibayangkan bila anak-anak ini langsung bersorak riuh dan segera berhamburan menuju pantai mencari spot terbaik untuk jeprat jepret sekaligus bernarsis ria. Setelah puas menikmati pantai Karang Hawu, ELF pun kembali membawa kami ke desa Sawarna. Lama perjalanan kurang lebih 1 jam, sampai akhirnya si ELF dengan mulusnya mendarat pada pintu masuk desa Sawarna.





Papan nama Desa Sawarna akan menyambut kita disertai dengan biaya retribusi sebesar 2rb..criing. Memasuki Desa Sawarna jembatan goyang sudah berada didepan mata, saatnya bergoyang hahaha. Kami menginap di Sawarna Beach House. Sampe guest house langsung beberes dan makaaannn....

Pukul 14.30 kami memulai treking kami menyusuri Desa Sawarna. Spot pertama kami adalah Goa Lalay. Lalay dalam bahasa Sunda artinya kelelawar, jadi bisa diartikan kalau Goa Lalay = Goa Kelelawar. 



Menuju Goa Lalay kita akan melewati sungai dan areal persawahan yang menghijau. Saat kami melintasi sungai terlihat anak-anak desa Sawarna yang sedang asyik bermain air sambil sesekali beratraksi dengan menaiki sebatang pohon kelapa yang tinggal setengah dan meloncat kearah sungai. Rada ngeri juga, soalnya saya khawatir terdapat batu-batu tajam didalam sungai tersebut tapi sepertinya tidak, mereka sudah terbiasa dan terlampau menikmatinya..ya sudahlah.







Menyusuri areal persawahan..

Mata kamipun dipaksa melihat hijaunya padi yang membentang. Terlihat masyarakat Sawarna yang sedang sibuk dengan  sawah garapannya sambil sesekali tersenyum menyapa kami ketika kami berpapasan dengan mereka. 





Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan kamipun tiba di Goa Lalay. Goa Lalay tidak tersentuh matahari, maka itu jangan lupa untuk mengikutsertakan senter kedalam ransel anda.

Memasuki mulut goa dan senterpun mulai dinyalakan. Pada bibir goa kita langsung menemui aliran air yang mengalir dari dalam goa. Jalan masuk yang lumayan sempit dan aliran air yang mencapai lutut membuat kami tertantang untuk terus masuk jauh kedalam. Mengingat tidak adanya asupan matahari kedalam goa membuat isi goa tidak bisa secara detail kami nikmati. Masuk lebih dalam dan kita akan menempuh medan becek, licin, berlumpur dan berair, sampai akhirnya langkah kami terhenti lantaran dinding yang menghalangi perjalanan. Sebenarnya terdapat jalan kecil yang hanya muat 1 orang saja bila kita ingn terus menyusuri goa Lalay ini, namun kami putuskan untuk kembali. Putar balik, kembali menghadapi jalan becek, terpeleset, terjatuh dan kembali basah. Satu paket yang menyenangkan untuk menikmati Goa Lalay ini hahaha


Melanjutkan perjalanan...
Susur pantai menuju Lagoon Pari


  

 




Dan akhirnya menikmati sunset di Tanjung Layar....







Puas mencumbui sunset di Tanjung Layar kamipun kembali ke homestay dan sharing pengalaman kami menikmati keindahan Indonesia, Indonesia itu indah kawan.

Minggu, 12 Juni 2011

Pagi itu saya tidak ikut mencari sunrise di Lagoon Pari, saya masih terkapar dikamar dengan selimut menutupi sebagian tubuh saya setelah semalaman berbincang dengan Lulu, Abah, Syarif, Fitri dan Bobby. Harum nasi goreng akhirnya membuat saya beranjak dari tempat tidur untuk segera menghampirinya. Kamipun segera menyendok menu sarapan kami dan sesekali berbincang tentang kejadian-kejadian kemarin.
Waktunya mandi di pantai, dan kamipun berbondong-bondong menceburkan diri ke pantai Ciantir ini.


"Cepet keluar, ada gempa !!!", begitu kira-kira yang saya dengar dari bibir pantai. Segera kami meninggalkan ombak-ombak liar itu dan menuju ke pantai, ternyata gempa yang barusan terjadi hanya sebentar dan tanpa ragu kamipun segera menceburkan diri kembali ke pantai.


Selesai sudah kami menghabiskan waktu di Sawarna ini, saatnya kembali Jakarta. 



Ban bocor, Doel Sumbang, kawan baru, gempa dadakan dan indahnya Sawarna...Mmhh,benar-benar satu pengalaman yang unik kawan. Well, See u guys in the next trip.

Note: Foto dari kamera Iwan, Zaki, Fitri, Agung, koleksi pribadi dan rekan lainnya.