Selasa, 19 Juli 2011

Semalam di Baduy

Pernahkah terpikirkan apa jadinya jika anda hidup tanpa adanya listrik, mall ataupun kendaraan bermotor? Atau bayangkan saja bila handphone anda tertinggal ketika anda sudah melaju pergi ke tempat aktivitas. Mmmhh, saya rasa andapun tidak ingin berada pada kondisi seperti itu bukan?. Tapi bila anda merasa tertantang untuk tidak menggunakan elektronik dan sesekali tidak ingin memanjakan kaki anda, silahkan anda meluncur ke perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan Rangkasbitung, Banten menuju pemukiman Baduy. Itupun yang akan saya lakukan untuk menguji kesanggupan saya bertahan dengan ketiadaan listrik hehehe.

Bersama komunitas Backpacker Indonesia sayapun memantapkan diri untuk mengeksplore Baduy. Ada 18 peserta eksplore Baduy saat itu, mereka adalah Retno, Nanta, Indra, Merry, Ambar, Putu, Nunu, Andi, Randy, Eva, Irma, Achyar, Neta, Fitri, Ade, Yayah, Delima termasuk saya sendiri. Setelah berdiskusi lewat forum akhirnya kamipun sepakat untuk bertemu di stasiun Tanah Abang pukul 07.15.

Sabtu pagi, 16 Juli 2011 pukul 05.30
Hwaaaaahhh...kesiangan, sayapun segera mandi, shalat Subuh dan langsung bergegas menuju Stasiun Tanah Abang. Saya pikir saya bakalan telat sampai di  Tanah Abang, mengingat info yang saya dapat bahwa kereta Rangkas Jaya akan berangkat pukul 07.30 sedangkan saat ini sudah pukul 07.20 dan saya masih berada di Halte Busway Harmoni. Sayapun segera meninggalkan halte busway dan langsung menepok bahu tukang ojek untuk mengantarkan saya ke Tanah Abang. Criiing…15ribu dan saya dipalak dengan biadabnya oleh tukang ojek tersebut, hufft. Langsung menaiki tangga menuju stasiun dengan napas yang masih berantakan dan ternyata mereka juga baru saja berkumpul dan si Rangkas Jaya sendiri baru lepas landas pukul 08.00 tepat….hufft untuk yang kedua kalinya.

Pukul 08.00 Rangkas Jaya pun mulai bergegas meninggalkan stasiun Tanah Abang. Untungnya tidak terlalu padat saat itu, jadi kami semua masih bisa mendapatkan kursi. Perjalanan menuju Rangkasbitung sekitar 2 jam, sampai stasiun Rangkasbitung sudah sekitar pukul 10 pagi. Untuk menuju Ciboleger kita dapat menggunakan ELF. Retno sebelumnya sudah menyewa ELF untuk kami tumpangi sampai Cbolegar, jadi setibanya di stasiun Rangkasbitung  kami  tidak perlu luntang-lantung tapi sudah di jemput oleh kang Pepi yang gak pake embel-embel the explorer ;). Perjalanan dari Stasiun Rangkasbitung menuju Ciboleger sekitar 1-1,5 jam. Akses jalannya sendiri sudah beraspal dan jalan rusaknya sendiri dapat dihitung, tidak ada hambatan berarti menuju ke Ciboleger.

Sampai juga kami di Ciboleger…

Tiba di Ciboleger dan ternyata bersamaan dengan waktunya makan siaaaaang, hehehehe. Dengan mantap kami pun melahap makan siang kami. Nasi, ayam goreng ditambah dengan sambal plus lalapan timun dan jegkol, kombinasi yang menarik bukan? hehehe. Kenyang, dan yang pasti rasa kantuk mulai menyerang. Kamipun beristirahat sejenak sembari menunggu Retno melakukan registrasi. Jangan ragu untuk bertanya dan gunakan kemampuan anda dalam hal tawar menawar, itu tips yang saya pikir paling mudah. Makanan disini saya pikir lumayan mahal untuk ukuran menu diatas, untungnya ada sang negosiator yang nyambi jadi artis ‘Nanta’ sehingga segalanya menjadi lebih murah. Selesai sudah proses registrasi, waktunya treking menuju tempat kami bermalam di Desa Kanekes, kami menginap di kampung apa yah? saya lupa nama kampungnya, hanya saja kami sudah melewati Kampung Keduketug dan Babakan Balimbing. Sekitar 1-2 jam berjalan menyusuri jalan berbatu, menanjak, menurun dengan suguhan keindahan alam Baduy yang luar biasa akhirnya kami tiba di TKP. Oiya, sebelumnya kami sudah membeli ikan asin, mie instan, gula, kopi dan teh sebagai buah tangan untuk pemilik rumah, banyak kok yang jual di Ciboleger, jadi jangan khawatir. MMhh, rasanya tidak perlu takut gak bisa ngemil deh, ternyata minimarket sekelas alfamart eksis juga loh di Ciboleger hehehe.






 



Perjalanan panjang menuju tempat menginap membuat saya panen keringat. Rasa gerah itu membuat saya untuk bergegas menuju kamar mandi.  Setelah celingak celinguk cari kamar mandi akhirnya saya tahu kalau ternyata ditempat kami menginap tidak ada kamar mandi plus toiletnya. Untuk mandi kami harus menuju sungai Ciujung yang letaknya tidak jauh dari tempat kami menginap. Sesampainya di sungai Ciujung sayapun langsung menceburkan diri menkmati segarnya air sungai yang masih lumayan jernih itu. Tak hanya itu, sayapun langsung mandi dan membilas tubuh saya dengan guyuran air sungai walaupun merasa risih karena ini kali pertamanya saya mandi di sungai, terbuka pula hahaha.
Cebuuurrrr...BBrrr...Segeerr
Sungai tempat kami mandi
Bbbbrrrrr....seger, sensasi yang luar biasa. Benar-benar pengalaman mandi yang gak ada duanya. Sang suryapun berangsur-angsur mulai tenggelam, dalam hitungan menit gelap pun mulai menyelimuti Baduy. Bisa anda bayangkan bagaimana sunyinya bila malam tiba. Tidak ada lampu, tak ada bunyi televisi, tak ada deru kendaraan...pokonya benar-benar sunyi, yang ada hanya suara jangkrik, gemercik air sungai dan suara binatang malam.  Di Baduy memang tidak ada listrik, jadi untuk penerangan digunakan lampu minyak. Untuk masyarakat Baduy luar, mereka sudah terbiasa menggunakan lampu senter. Signal HP? tenang...sinyal kuat indosat menyapa, hanya saja anda harus naik ke tempat yang lebih tinggi baru bisa mendapatkan sinyal. "Apakah orang Baduy punya HP juga?" Weiits, jangan ditanya, walaupun sinyal cuma 1-2 bar disana tapi ada beberapa masyarakat Baduy Luar juga sudah mempunyai HP loh, hanya saja fungsinya lebih banyak untuk mendengarkan musik dan melihat video. Jadi jangan heran, biarpun gak ada lstrik tapi di HP mereka sudah ada lagunya ST 12. Yang membuat saya shock adalah, video Ariel ternyata juga bisa sampe sana...ckckckc. Satu lagi, rumah-rumah di Baduy Luar banyak yang memasang foto artis. Dari 4 rumah yang saya singgahi, ternyata posternya Nikita Willy menempel di dinding bilik mereka mengalahkan SBY dan Budiono...weleh...weleh...

Dinner time...dengan menu yang sama dengan menu makan siang hiks hiks hiks. Kami memang memesan makan malam sekalian makan siang di Ciboleger karena memang kami tidak diperkenankan untuk memasak di Baduy Luar, entah karena memang sedang ada ritual tertentu atau memang tidak boleh saya sendiri memang belum mencari tahu. Untuk menghabiskan malam kamipun mulai terlibat pembicaraan seru, mulai dari sharing soal tempat-tempat eksotis sampai merencanakan trip selanjutnya...maklumlah, kita kan banyak maunya ;)

Pukul 22.00, kamipun kembali ke tempat menginap. Rumah tempat kami menginap sangat-sangat sederhana. Rumah panggung seperti rumah-rumah masyarakat Baduy kebanyakan dengan dinding kayu dan atap rumbai, namun terasa nyaman. Semilir angin dan cahaya lampu minyak mengiringi kami beristirahat. Dan kamipun terlelap..ZZZzzz..ZZzzz

Minggu, 17 Juli 2011
Selamat pagiiii...
Dengan berbekal sarapan yang nyaris sama dengan makan siang dan makan malam itu kami pun akan melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam ke kampung Cibeo. Perjalanan sektar 2-3 jam dengan berjalan kaki. Setelah dirasa cukup kamipun kembali menapaki tanah baduy.

Trekingpun kembali dimulai...








Menuju Cibeo...

Sayangnya 2 rekan kami, Ade dan Merry tidak sanggup melanjutkan perjalanan dan memutuskan untuk kembali. Perjalanan yang sangat panjang kawan, berkali-kali kami harus menaiki tanjakan curam, turunan, bebatuan dan terkadang melintasi kali kecil. Sayangnya saya tidak bisa mengabadikan semua peristiwa tersebut karena adanya larangan menggunakan kamera. Jadi saya akan memaksimalkan memori saya untuk merekam perjuangan kami menuju Cibeo. Masuk hutan, keluar hutan, terjatuh, terpeleset,  seonggok 'ranjau', bertemu dengan masyarakat Baduy yang sedang meladang, pemandangan yang menabjukan...Luar biasa kawan. Akhirnya sampailah kami di Cibeo, sebenarnya masih ada 2 desa lagi di Baduy dalam, Cikeurta warna dan Cikeusik. Sayangnya kami tidak sempat mengeksplor kedua tempat itu, tapi saya rasa Cibeo sudah mewakili kedua tempat tersebut. Para pria di Cibeo tidak merokok loh, pantas saja kalau mereka berkata hanya membutuhkan waktu 1 jam saja untuk mencapai Ciboleger dari Cibeo...saluuuutt.

Puas menaklukan Cibeo, kamipun kembali menuju tempat kami menginap. Dalam perjalanan pulang saya melihat duren yang dijajakan disalah satu rumah penduduk. Tawar menawar dan akhirnya saya dan Delima sepakat membeli  4 buah duren seharga 30 ribu. Sampai juga di pitstop (tempat kami beristirahat) sayapun langsung membelah duren yang saya beli tadi trus beli kaos Baduy buat oleh-oleh dan relaksasi sejenak.
Pamit dengan pemilik rumah dan kamipun kembali melanjutkan perjalanan menuju Ciboleger. Mati rasa sepertinya kaki saya ini, cenat..cenut..cenat..cenut. Perlu beribu daya dan upaya mencapai Ciboleger, maklumlah saya terbilang jarang berolahraga dan motorlovers jadi perlu 'sedikit' waktu untuk menuju Ciboleger. Setelah 1,5 jam akhirnya kamipun berhasiiiiilll, yipppiii, Horrraaayyy...
Dalam hitungan menit sayapun sudah berada didalam ELF yang akan mengantarkan kita ke Stasiun Rangkasbitung. Dalam perjalanan menuju Rangkasbitung akhirnya sayapun menyerah pada kantuk. Setelah 1 jam perjalanan akhirnya saya terbangun dan mendapati ELF sudah berada di Rangkasbitung. Beli tiket dan ternyata kereta Merak Jaya benar-benar padat. Dengan keikhlasan hati sayapun terpaksa mengeluarkan tenaga ekstra untuk berdiri sampai stasiun Tanah Abang. MMhhhh, beginilah naik kereta ekonomi. Desek-desekan, setiap stasiun berhenti, pedagang sliweran...ckckckk.


Tiba juga di Jakarta

Kembali pada realita, kembali bertemu dengan listrik, kemacetan, bising, copet, kerjaan yang numpuk, air ledeng, handphone dan semua yang mungkin belum ada di Baduy. Yang pasti saya akan merindukan saat saya mandi di sungai Ciujung, merasakan sejuknya udara Baduy, melihat kepolosan dan keramahan masyarakat disana. Bagaimana dengan anda? Atau mungkin anda juga sedang merasakan hal sama dengan saya?


Senin, 11 Juli 2011

Bercumbu dengan Jogja Selatan



Jogjakarta…yups, kota itu yang akan saya tuju dalam liburan kali ini dan saya tidak sendiri untuk menikmati kota itu. Bermula  ketika saya mengudpate status pada salah satu jejaring sosial mengenai keinginan saya menuju Jogja akhirnya 3 orang sahabat teracuni oleh status saya dan bersedia untuk ikut menjelajah Jogja, mereka adalah Esthi, Ambar dan Ucup. Mengingat saya, Esthi dan Ucup mencari sesuap nasi di Jakarta sedangkan Ambar di Indramayu maka komunikasi kami terbatas hanya melalui fasilitas FB, YM ataupun sms. Berhubung tanggal yang kami tentukan untuk menuju Jogja bertepatan dengan liburan sekolah maka bisa dibayangkan bagaimana sulitnya untuk mendapatkan tiket kesana. Satu minggu menjelang keberangkatan kami belum mendapatkan tiket kereta api dan kemungkinan terburuknya adalah kita batal ke Jogja hiks hiks hiks. Untungnya Ambar bisa mengupayakan tiket tersebut, Progo penuh Bengawan pun jadi dan kamipun sepakat bertemu di Stasiun Tanah Abang pukul 19.00.

Hari itu…Jum’at 1 Juli 2011

Syukurlah kerjaan yang menumpuk itu selesai juga, sayapun langsung bergegas menuju stasiun Tanah Abang. Pukul 18.45 saya tiba di stasiun dan bertemu dengan Esthi. Menuju ke peron tapi Ambar dan Ucup belum terlihat batang hidungnya sedangkan kereta akan bergegas pukul 19.30. Ambar memang berangkat dari Indramayu dan tiket dititipkan ke ayahnya. Ucup tiba pukul 19.05 dan Ambar masih belum terdengar kabar beritanya. Kami coba menghubungi ayahnya Ambar dan bertemu dengan beliau. Hp saya bergetar, ternyata sms dari Ambar yang mengabarkan dia masih terjebak macet di dalam busway di daerah Kramat Jati. Hadooooohhhh…gimana ini? Kamipun panik bukan kepalang mengingat 15 menit lagi kereta berangkat. Saking paniknya, ayahnya Ambar berkali-kali meminta saya untuk menghubungi Ambar untuk mengetahui keberadaan anaknya yang tidak seberapa itu. Langsung saya ambil hp dan coba menghubungi Ambar dan memintanya untuk segera turun dari busway dan langsung naik ojek ke Jatinegara. Pukul 19.25 kamipun menuju kereta Bengawan diantar ayahnya Ambar, makasih ya om sudah repot-repot dari Serpong hanya untuk mengantarkan tiket buat anak-anak lucu ini :). Oiya harga tiket kereta ekonomi menuju Jogja cuma 35k, cukup murah kan?

Pukul 19.30

Bengawanpun akhirnya membunyikan pluit panjangnya menandakan dia akan bergegas meninggalkan Jakarta. Bengawan mulai berjalan perlahan dengan gerbong-gerbong yang sudah sesak dengan penumpang dan  kami masih berharap semoga saja Ambar bisa sampai di Jatinegara sebelum Bengawan tiba. Ditengah kekhawatiran soal Ambar yang masih terjebak macet, insiden tidak menyenangkan terjadi. Menjelang stasiun Manggarai oknum yang tidak bertanggungjawab melemparkan petasan kedalam kereta dan meledak mengenai jilbabnya Esthi…untungnya tidak terjadi apa-apa hanya saja jilbabnya Esthi yang sedikit terbakar. Ckckck…apa mereka tidak berfikir tentang keselamatan penumpang di kereta yah?
Kali ini Hp Esthi yang berbunyi, Ambar mengabarkan sudah berada di stasiun Jatinegara...syukurlah. Bengawanpun tiba di Jatinegara, kamipun masih harap harap cemas apakah Ambar masih bisa masuk kedalam kereta mengingat lonjakan penumpang yang gila-gilaan pada liburan kali ini. “Heeeyyy…kalian disini rupanya?”, kata Ambar. Thanks God, akhirnya kami  dipertemukan juga dengan Ambar setelah terpisah berabad-abad wkwwkkkwkk.

Keretapun melaju menuju Jogja, kamipun terlibat perbincangan seru. Cerita-cerita mengenai keindahan Indonesia meluncur begitu saja sebagai topik diskusi kami, sampai akhirnya terjadi tragedi  ‘Coffe Trouble’. Kopi pesanannya Ucup jatuh dan mengenai sebagian baju dan tas kami. Dengan lembaran-lembaran tissue akhirnya selesai juga usaha mengeringkan baju dan tas kami dari guyuran kopi tapi tidak dengan aromanya hahahaha. Namanya juga kereta ekonomi, pedagang sliweran wara wiri gak ada habisnya ditambah dengan kursi yang berhadapan dengan kondisi lutut langsung bertemu lutut membuat kami tidak begitu leluasa untuk beristirahat. Pukul 06.30 kami tiba di Lempuyangan setelah 11 jam berada di Bengawan. Turun dari kereta dan langsung menghirup udara Jogja…mmmhhhh.





Sabtu, 2 Juli 2011

Sesampainya di Lempuyangan kami langsung bergegas ke kamar mandi membenahi diri kami yang berantakan. Setelah dirasa tidak terlampau apek kamipun langsung menumpang kereta Prameks menuju stasiun Tugu, mengingat akses dari Tugu lebih mudah ketimbang dari Lempuyangan. 
Tiba di stasiun Tugu dan lapar menyerang…memang perut kami hapal dengan waktunya sarapan huufft. Keluar stasiun dan semangkok soto pak Gareng di Jl Mangkubumi menjadi menu sarapan kami kali ini. Saya hanya membayar 8rb untuk semangkok soto dan milo hangat, cukup murah bukan? Tadinya kami tidak terlampau khawatir setibanya kami di Jogja karena ada seorang rekan yang sudah menawarkan kendaraan dan rumahnya untuk kami sita selama di kota gudeg ini, tapi karena satu dan lain hal akhirnya rekan kami tersebut menyatakan penyesalannya karena tidak dapat membantu. “Ga papa mas bro, trima kasih banyak buat tawarannya tapi lain kali bantu kami lagi yaks”, begitu kira-kira sms saya ke sahabat saya itu. Dan sekarang saatnya memutar otak agar spot-spot yang udah dilist bisa kita datengin. Sayangnya Ucup punya urusan di Jogja, jadi saya, Esthi dan Ambar yang akan ngebolang di Jogja ini. Coba cari rentalan motor dan kami diinfokan oleh bapak penjaga parkiran untuk menyewa motor di daerah Pasar Kembang. Kamipun langsung menuju TKP dan nego dengan pemilik rental agar tarifnya bisa diturunkan. Akhirnya kami dapat harga 60rb/hari untuk motor Supra. Karena kami memang tidak begitu familiar dengan Jogja akhirnya kami mulai sibuk mencari ‘korban’ untuk menjadi guide kami selama di Jogja. Sekitar 3 jam kami coba hubungi rekan, saudara, orang yang baru kami kenal, atau siapapun itu tapi hasilnya nihil. Untungnya Esthi punya rekan yang tinggal di Jogja, kenal pada saat Esthi naik ke Merbabu. Horrraaay, akhinya bisa dapet korban juga hahaha. Korban itu bernama Joyo. Pukul 11.00 siang dimana matahari lagi terik-teriknya kamipun tetap sumringah menuju destinasi pertama.

Gunung Api Purba Nglanggeran


Terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk Gunung Kidul, Gunung api purba ini  memang agak tersembunyi. Jadi kalo dari  kota Jogja kita ambil ke arah Wonosari, kurang lebih sekitar 1 jam perjalanan dengan mengendarai sepeda motor dari Kota Jogja. Sedikit tersesat menuju lokasi tersebut, mengingat lokasinya yang melalui desa-desa. Kamipun sesekali bertanya mengenai lokasi gunung tersebut pada masyrakat disana dan tak jarang kami harus membalik kendaraan kami karena terlewat. Satu kejadian menarik dimana ketika kami bertanya dan memutar balik kendaraan saya langsung menarik gas motor tanpa sadar Ambar tidak ada di jok belakang motor saya….ternyata Ambar ketinggalan, pantas saja tarikan motor saya kok jadi lebih ringan, wkwwkkkk. Setibanya disana kamipun membeli tiket masuk seharga 3rb/orang plus seribu untuk parkir motor. Memasuki areal Gunung purba ini mata kami dipaksa untuk melihat kemegahan dan kekokohan gugusan gunung ini. Jalur treking yang kami lalui lumayan menantang  dan sesekali mulut kami berdecak kagum atas secuil keindahan ciptaan-Nya yang dahsyat ini. Melewati jalan setapak, jalur sempit bahkan mendaki batu terjal seperti layaknya seorang pendaki membuat kami bersemangat untuk menaklukan gunung ini hanya dengan waktu 1 jam saja hahaha. Untungnya saya ditemani sandal Cibaduyut seharga 35rb, jadi treking saya sedikit berwarna mengingat sandal yang saya kenakan bukanlah sandal gunung ;). Setelah menempuh perjalanan yang menguras air minum itu akhirnya kamipun tiba dipuncak. Dari atas gunung ini kami bisa melihat kebawah dimana hamparan ladang, kebun dan sawah yang hijau bagai karpet mushola...loh? Ditambah lagi dengan puluhan tower-tower yang menjulang menjadikan tempat ini berbeda. Luar biasa, saya tidak bisa menggambarkan kemegahan gunung ini dengan kata-kata. Bagi anda yang memang hobby treking dan suka akan keindahan bumi dilihat dari ketinggian, saya kira tempat ini layak untuk anda kunjungi.














  

  

 








 Melanjutkan perjalanan…

Gua Pindul
Tujuan kami selanjutnya adalah Gua Pindul. Goa yang terletak di Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo Gunung Kidul, kira-kira satu jam perjalanan dari Gunung Nglanggeran. Lokasinya memang agak susah ditemukan, tanya saja Desa Bejiharjo dan setibanya di Bejiharjo tanya Gua Pindul. Saat kami memasuki Bejiharjo kami sempat bertanya pada masyrakat disana, malahan mereka menyebutnya Gua Gandul..entah Pindul atau Gandul itu sama atau tidak kami hanya manggut-manggut saja hehehe. Tiba di TKP dan kami disambut dengan keramahan pengelolanya. Menurut infomasi yang kami terima, Gua Pindul merupakan gua dengan alur sungai di bawah tanah dengan panjang sekitar 300 meteran. Gua dengan lebar 5 meter dan tinggi dari muka air ke langit-langit gua sekitar 4 meter mempunyai kedalaman air antara 4-7 meter. Ada paket-paket yang bisa diambil, mulai dari susur gua, bodyrafting atau cavetubing. Kami mengambil paket cavetubing seharga 30ribu/orang plus bonus bakso hangat dan teh rosella diakhir caving. 

Untuk menikmati gua Pindul, kamipun dilengkapi dengan pelampung, ban untuk kami naiki plus sepatu karet warna putih. Perjalanan menuju Goa dari tempat pengelola tidaklah jauh sekitar 100 meter saja, bayangkan kalo jauh…lumayan juga kan kalo kita harus membawa serta ban ini sendiri hehehe. Sebelum menuju Goa Pindul kami diminta berdoa terlebih dahulu agar diberikan kemudahan dalam menyusuri goa. Berdoa selesai, saatnya bergegas menuju Goa Pindul…..Yiiiihhhaaaaa. Sampai di mulut gua ada sekumpulan anak-anak kecil sedang mandi dan seorang ibu yang sedang mencuci baju. Antusias sekali mereka menyambut kami, senyum bergelayut dibibir bocah-bocah tersebut sambil sesekali mereka beratraksi dengan berjungkir balik di sungai tersebut.



Mulai masuk kedalam ban dan merasakan sejuknya air sungai ini, 3 orang pemandu siap menemani kami mengarungi Gua Pindul ini. Saya lupa siapa nama bapak yang memandu kami tapi beliau begitu ramah dan hangat sambil menjelaskan perihal Goa Pindul ini. Goa Pindul dibagi menjadi 3 zona, zona redup, zona gelap dan zona terang. Karena pemandu sudah dilengkapi dengan helm plus lampu maka kami bisa melihat gua ini dengan jelas. 



Memasuki gua kami sudah disuguhi dengan stalaktit yang indah dibalut dengan pahatan-pahatan tebing alam yang kokoh. Stalaktitnya masih ada yang aktif loh, masih ada tetesan-tetesan air yang kami rasakan diujung stalaktit tersebut. Dahulu Goa Pindul digunakan untuk tempat budidaya walet, tapi seiring burung walet yang semakin beranjak pergi membuat gua ini sekarang dipenuhi oleh ribuan kelelawar. Lihat saja langit-langit gua ini, banyak sekali kelelawar dan kotorannya yang masih menggantung…yyaaaacckk. 









Mulai menyusuri gua ini...





Pemandu kami menerangkan bahwa ada mitos mengenai batu yang bisa menambah keperkasaan pria, Joyo dengan sigap langsung meluncur dan memegangnya, saya cukup memeluknya saja ;). Oiya, selain itu ada tempat dimana para kelelawar itu bercumbu loh….kami dipelihatkan tindakan tidak senonoh dimana satu betina dikeroyok oleh 2 sampai 3 jantan ckckck. Mendekati akhir perjalanan pada zona terang kami diberikan kesempatan untuk menaiki tebing dan meloncat ke arah sungainya. Well, it seems like a little Green Canyon in Pangandaran hehehe. Bbbbrrrrrr….dingin, tapi tak menyurutkan kami untuk kembali terjun. Akhirnya selesai sudah penjelajahan susur Pindul. Kamipun mulai berenang keluar menuju mulut gua. Sampai sudah kami ditepian dan tidak hanya selesai sampai disitu, kami harus memanjat tebing dengan bantuan tali dan pijakan seadanya. untuk sampai ke atas. Selesai sudah….bakso panaspun sudah tersedia untuk menghangatkan tubuh kami yang basah karena aktivitas tadi. Dingin-dingin langsung makan bakso….mantapppph.


  

  



 
  

  

 

 
Jembatan Sayidan
Makan di pinggirnya kali Code
Rencananya kami ingin mengejar sunset di Boko tapi waktunya tidak memungkinkan. Kamipun kembali ke kota Jogja dengan badan menggigil lantaran pakaian yang kami kenakan masih setengah basah. Menembus malam menuju Jogja kamipun berhenti sejenak di Patuk untuk melihat gemerlap cahaya kota Jogja. Kerlap kerlip lampu kota Jogja terlihat menawan. Melanjutkan perjalanan dan tibalah kami di kota Jogjakarta. Esti dan Ambar diminta untuk segera mengganti pakaian di kost rekannya Joyo agar lebih nyaman sedangkan saya cukup rebahan dan berharap silir angin akan mengeringkan baju saya.  Selesai berbenah kami pun langsung menuju Sayyidan untuk makan malam. Makan malam dipinggiran kali Code, mmhhh….lumayan menarik. Selesai makan kami langsung menuju daerah Malioboro untuk mencari losmen. Joyo ke kost bersama Dian dan Mbak sopo yo? Lali je…heehehe. Parkir motor di depan Malioboro Mal trus mulai muter-muter diseputaran Malioboro menenteng backpack. Kamar penuh, room is full, maaf tidak ada kamar…pegeeeelll. Liburan gini bikin apa-apa jadi susah, biasanya saya masih bisa dapat kamar kok walaupun sudah malam. Capek dengan aktivitas tadi siang plus membawa backpack kemana-mana bikin lapar lagi. Ambil motor dahulu sambil memutar otak akan nginep dimana kami malam ini.


Terdampar di Malioboro
Ambar sebenarnya sudah bisa meyakinkan rekannya yang tinggal di Prambanan untuk kami singgahi, tapi kami fikir karena sudah terlampau malam dan jarak yang lumayan jauh jadi kami ucapkan terima kasih pada rekannya Ambar tersebut. Alternatifnya ya tidur di stasiun atau di Masjid tapi Esthi punya ide untuk menghubungi Pa’ Agus, pemilik rental motor yang kami pinjam. Waktu itu sudah pukul 23.00, Esthi coba menelpon Pa’ Agus tetapi sayang, tidak ada jawaban. Ya sudahlah, terpaksa kami harus memaksakan kaki kami ke arah Stasiun Tugu untuk bermalam disana. Selang beberapa menit Pa’ Agus menelpon balik kami menanyakan ada apa gerangan. Dengan segala rayu dan nada memelas yang kami miliki akhirnya beliau mengizinkan kami menginap di kediamannya. Horraayyy, gak jadi ngegembel malam ini hahahaha. Makan dulu di lesehan, pake gudeg plus telor dan es teh manis abis 10rb. Lihat simbah-simbah sambil menggendong barang dagangannya membuat kami berfikir untuk membeli  dagangannya khusus oleh-oleh buat Pa’ Agus. Rempeyek, peyek belut plus rengginang kami beli, selesai langsung menuju Jl. Godean km 8. Jogja malam itu dingin sangat…bbbrrrrr. Tiba di kediamannya Pa’ Agus sudah pukul 24.00, jadi merasa bersalah lantaran ngrepotinnya gak tanggung-tanggung. Rumah Pa’ Agus tergolong unik, rumah Joglo yang cukup besar namun hanya ditempati oleh keluarga kecilnya saja. Memasuki pintu gerbang rumah saja kami sudah disambut dengan ucapan khas selamat datang yang berasal dari pagar rumah. Untungnya kami nggak 'sakit', cuma sedikit 'cacad' sehingga kami lolos dari seleksi pagar laknat itu wkwkwkwkkk.
Notes di depan pintu masuk rumah Pa' Agus
Thanks for this home
Kediamannya Pa' Agus

Minggu, 3 Juli 2011

Hoaaaamm…selamat pagi, hampir saja saya melewatkan shalat subuh. Jogja malam itu dingin luar biasa, jadi tidur saya tidak begitu nyenyak tadi malam. Keluar sebentar lihat-lihat jalan Godean langsung ngrepotin Pa’ Agus lagi. Kita mau menyewa motor lagi untuk setengah hari. Kali ini kami hanya bertiga, minus Joyo. Ambar yang tidak mempunyai SIM nekad membawa motor bersama dengan Esthi sedangkan saya cukup sendiri saja. Langsung menuju Prambanan tapi rencananya kita akan ke Candi Boko karena kemarin tidak sempat nyanset disana. Sesekali saya menunggu munculnya Ambar yang sempat tertinggal, lalu melanjutkan perjalanan kembali. 


Candi Boko

Berkendaraan sekitar 45 menit dari kota Jogja, melewati jalan Solo, Kalasan dan menjelang candi Prambanan kita ambil arah ke kanan ke arah pasar Prambanan terus saja megikuti jalan tersebut. Kurang lebih 4-5  km dari pasar Prambanan sudah terlihat petunjuk Candi Boko. Harga tiket  Rp.12.500/orang plus izin foto 5rb. Sayangnya kami datang pada waktu yang tidak tepat, kami datang siang hari padahal Boko cantik pada sore hari karena kita bisa melihat sunset secara jelas disini. Memasuki areal candi kami disabut oleh rusa tutul yang diberi pagar pembatas, karena belum sarapan akhirnya kami memutuskan untuk makan mie dengan membayar 5rb sambil bercengkrama dengan rusa-rusa tersebut. Kurang lebih 50 meter kami berjalan baru terlihat bangunan candi. Candi ini hampir sama dengan candi kebanyakan, hanya saja banyak bangunan candi yang tidak utuh. Menurut kami bagian candi yang masih terlihat megah hanya bangunan depan yang berupa 2 buah gapura tinggi. Gapura pertama memiliki 3 pintu sedang gapura kedua memiliki 5 pintu. Setelah memasuki kedua gapura tersebut anda akan melihat bangunan candi dan candi pembakaran. Menurut info yang saya dapat di areal ini terdapat sumur misteri yang berisi air suci dan gua lanang, tapi tidak sempat menemukannya karena kami agak enggan berpanas-panas ria. Karena siang itu terasa sangat terik kamipun menyudahi penjelajahan di istana Ratu Boko ini. Sepertinya saya perlu kembai ketempat ini untuk membuktikan sunsetnya

Kembali menuju kota Jogja…
Kami harus berpacu dengan waktu mengingat kereta api Progo akan bergegas meninggalkan Jogja pukul 16.45. Saat itu sudah pukul 14.20 dan kami masih berada di Prambanan. Dalam perjalanan pulang karena saking hausnya kepala saya sesekali menoleh mencari-cari minimarket yang menjual minuman dingin. Setelah beberapa saat, mata saya pun tertuju pada Es Dawet berjejer di daerah Kalasan. “Mmmhhh, seger nih siang-siang ngedawet”, begitu kira-kira yang ada diotak saya. Akhirnya saya pun memberikan sign kiri tanda saya akan merapat ke tukang dawet. Srupuuuttt…mmh segernya, cukup 2rb/gelas  anda bisa menikmati segarnya es dawet. Lanjut….

Istana Air Taman Sari

Setelah dahaga berkurang kami segera meluncur menuju Taman Sari. Kami pacu kuda besi kami menembus teriknya panas dan kemacetan menjelang memasuki kota Jogja. Langsung menuju TKP setelah sedikit bertanya dan kamipun tiba di areal Taman Sari. Terletak di sebelah barat kraton Jogja dibangun untuk tujuan menentramkan hati, istirahat dan rekreasi keluarga kerajaan. Dengan membayar 3rb/orang plus seribu rupiah untuk izin foto. Objek utama Tamansari ini adalah kolam air yang dikelilingi benteng setinggi 6 meter. Dahulu Tamansari berfungsi sebagai kolam pemandian para istri Sri Sultan Hamengkubuwono I. Lokasi ini cukup apik untuk dijadikan objek photografi, terlihat dari antusiasme pengunjung yang tidak melewatkan setiap sudut bangunan ini untuk dijadikan objek jepretannya. Sepanjang saya melintas terlihat para photografer dengan kamera dan lensa yang segede gaban mencari angle terbaik untuk jepretan mereka, dan karena bentuk bangunannya yang unik dan mewah membuat tempat ini masuk kedalam list untuk prewed saya nanti hahaha.

Selesai berfoto-foto ria kamipun segera bergegas menuju tempat oleh-oleh sekaligus mengembalikan motor ke pemiliknya, Pa’ Agus. Kamipun menuju Jl KS Tubun untuk membeli oleh-oleh khas Jogja Bakpia Patuk 25. Selesai belanja menuju Jl Pasar Kembang untuk mengembalikan motor. Setelah transaksi selesai tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pa’ Agus dan Bro Joyo, yang sudah banyak membantu kami selama di Jogjakarta ini..

Menuju Lempuyangan dengan menumpang kereta api Madiun Jaya dari Stasiun Tugu. Sesampainya di Lempuyangan ternyata Progo sudah penuh sesak dengan penumpang yang hendak ke Jakarta. Sayapun terpisah dengan Ambar, Esthi dan Ucup. Mereka masih dalam kereta yang sama namun dengan gerbong berbeda. Sesaknya Progo tidak membuat saya jera untuk mengunjungi Jogja kembali.

Pukul 16.45
Dan Progopun melaju meninggalkan Jogja..