Minggu, 02 Oktober 2011

Bukan Mulung Biasa

Pernah dengar Gabung Mulung Tidung? Bagi rekan-rekan yang aware dengan lingkungan pastinya familar dengan kata-kata itu atau mungkin saja rekan-rekan pernah jadi bagian dari kegiatan tersebut. Jujur saya sendiripun tidak mengetahui perihal kegiatan mulung yang dimaksud. Kemengertian saya dimulai ketika seorang rekan memposting acara Gabung Mulung Tidung  dimana kegiatan ini bukan hanya mengedepankan kebersihan Tidung tapi ada berbagai kegiatan sosial yang  bermanfaat bagi warga sekitar, salah satunya adalah peremajaan taman baca, penanaman bakau dan peletakan batu kubus untuk terumbu karang. Tak hanya itu saja paket wisata yang ditawarkan pun tidak main-main, selesai bersih-bersih kita masih bisa berkano ataupun bersnorkling ria. Sebelumnya acara ini memang sudah pernah digelar, namun karena kepedulian dan keantusiasan para pecinta lingkungan membuat acara seperti ini kembali digelar dengan tajuk yang sama  "Gabung Mulung Tidung II" dengan tag line "Bersih Tidungku, Cerdas Generasiku".

Waktu itu Nadia-lah yang paling berantusias di forum merayu, membujuk dan mengancam untuk ikut, ooops...gak seekstrim itu juga sih. Dengan iming-iming pahala dan tentunya wisata membuat saya berantusias untuk mencantumkan nama saya didalam list peserta. Ternyata bukan hanya saya, tetapi Esthi, Ambar, Dita, Huda dan Fariz juga tergoda untuk ikut.

Hari H pun tiba, kebiasaan buruk saya pun kembali terulang...kesiangan dan telaaatt. Untungnya ketelatan saya masih bisa ditolerir oleh Team Leader saya Mpok Maria yang baik hati itu hahaha.  Berbekal seragam GMT II warna biru, label nama, tiket kapal dan tentu saja plastik hitam kami siap beraksi di Tidung. Saya masuk kedalam team 11 dan ternyata didalam team saya ada bule-nya loh. Perjalanan menuju pulau Tidung sekitar 3 jam dari dermaga Bahtera Jaya Ancol, diawal perjalanan saya masih melihat air laut yang menghitam dengan minyak-minyak yang terlihat jelas enggan untuk menyatu dengan air namun sekitar 1/4 perjalanan akhirnya saya dapat melihat gugusan air laut yang membiru. Didalam kapal  yang saya tumpangi saya melihat begitu beranekanya peserta GMT II ini, mulai dari anak kecil sampai nini-nini, dari pekerja seni, pemerhati lingkungan, mahasiswa, pelajar, karyawan sampai turis mancanegara. Senang rasanya bisa berbaur dengan mereka dan begitu banyak pengalaman yang bisa saya ambil dari perjalanan ini. Belum juga ada setengah perjalanan namun banyak peserta yang mulai tertidur namun disudut lain ada juga yang masih asyik bercanda seperti halnya saya.

Kapalpun mulai merapat ke dermaga, tandanya Tidung sudah didepan mata. Kedatangan kamipun disambut dengan hangat dari pemerintah setempat dan warga sekitar. Selepas Zuhur kami mulai kegiatan inti dari acara ini. Team dibagi menjadi 2 kelompok, team yang membersihkan Tidung dari sampah dan team yang menanam bakau. Saya masuk kedalam team mulung, awalnya saya sedikit kecewa lantaran bukan masuk kedalam team yang menanam bakau namun akhirnya saya menemukan keasyikan tersendiri memungut sampah bersama teman baru saya. Saya kebetulan mendapat tugas untuk mengambil sampah botol, sempat terpikir bagaimana mungkin sampah botol seperti bekas minuman keras bisa masuk ke pulau ini yah?
Tanam bakau
Sebenarnya sampah yang kami ambil merupakan sampah-sampah konsumsi masyarakat Tidung itu sendiri, pertanyaannya adalah mengapa bukan mereka saja yang berusaha untuk mewujudkan Tidung bersih? Contoh real yang kami lakukan saat ini bisa jadi bentuk cara untuk membuat mereka sadar lingkungan, namun alangkah naifnya bila kita bicara kebersihan namun tempat pemusnahan dan pembakaran sampah masih minim. Percuma saja bila setiap hari kita menggembar gemborkan kebersihan sedangkan fasilitas penunjangnya minim sekali. Disinilah peran pemerintah dan kepedulian warga yang menjadi kuncinya, aneh saja bila selepas kami bersihkan dan selang beberapa hari Tidung sudah kotor lagi. Nah loh, kalo sudah seperti ini kita mau bicara apa? Sia-sia bukan?

Sesi bersih-bersih sudah, saatnya menikmati Tidung.....

Jembatan cinta yang merupakan ikon dari Pulau Tidung yang menghubungkan pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil ternyata keren loh. Anda bisa membakar sedikit kalori dengan menyusuri jembatan ini sampai ke Tidung kecil, lumayan treking 600 meter. Bila anda ingin tantangan dan percaya mitos mengenai kelanggengan hubungan anda dengan pasangan atau ingin cepat-cepat dapat jodoh, silahkan anda terjun dari jembatan cinta. Entah benar atau tidaknya cerita itu tapi yang pasti banyak para peserta yang rela terjun dari jembatan yang mempunyai tinggi sekitar 5 meter itu. Karena saya tidak dapat berenang maka cukup bagi saya untuk memandang dan menikmati keceriaan ketika mereka terjun dan bersorak. Sayapun bersama Thia dan Athi akhirnya berjalan menyusuri Jembatan Cinta ini dan menikmati sunsetnya.

Keesokan harinya saya sepakat untuk bertemu dengan rekan saya waktu kita sama-sama mengeksplor Baduy kemarin. Eno, Putu, Yayah, Eva, Nunu ternyata sudah siap untuk bersnorkeling ria, pulau Payung dan Karang Beraslah yang akan menjadi tujuan kami. Sebenarnya ada acara holy color yang diadakan panitia tapi saya tak sempat mengikutinya karena masih asyik bercengkeram dengan terumbu karang.

Belum puas rasanya saya menikmati Tidung, namun acara harus disudahi. Setidaknya saya menikmati kegiatan  memulung plus ini, memberikan sedikit contoh pentingnya kebersihan dan tentu saja menikmati alamnya setelah kita bersihkan. Satu paket yang lengkap bukan? Charity plus wisata...pokoknya saya harus ikut kegiatan seperti ini lagi, titik.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Romantisme Abstrak di Kota Tua

Siang itu di depan Fatahilah
"Everything" nya Michael Buble mengalun pelan di HP saya, sebuah panggilan dari Farida membuat saya menekan tombol answer. Ternyata rekan kami Dea yang berdomisili di Bandung Minggu ini akan melancong sejenak ke Jakarta dan Kota Tua menjadi tujuannya. Saya sebenarnya agak malas ke tempat itu, bukan lantaran karena sudah keseringan kesana atau apa tapi karena sudah dipastikan Kota Tua akan padat ketika liburan dan saya tidak begitu suka dengan keramaian, maklum terbiasa jadi anak rumahan hahaha.

Berhasil membujuk Esthi, Agung dan Huda akhirnya kami sepakat akan bertemu di Monas terlebih dahulu. Karna Minggu merupakan hari tidur sedunia dan saya merupakan salah satu anggota komunitas tidur di hari Minggu menyebabkan saya telat untuk datang ke Monas. Buru-buru ngejar busway tapi ternyata busway yang saya tunggu sepertinya juga sedang menikmati hari libur ini (lama datangnya,red). Matahari  sudah mulai beranjak naik dan sudah dipastikan saya telat, akhirnya saya putuskan untuk langsung menuju Kota Tua saja.

Tiba juga di kawasan Kota Tua, langsung menuju Kafe Batavia dan terlihat Esthi sedang asyik menikmati ketupat sayurnya sedangkan yang lain asyik berkeliling melihat tontonan gratis sembari sesekali pose dan jepreeettt, suara kamera pocket, SLR ataupun kamera HP mulai terdengar. Oiya, tambah rekan lagi, namanya Dani...wanita seksi dan narsis itu. Mulai mengeksplor kawasan ini untuk memanjakan sang Nyonya (Dea,red). Masuklah kami ke Musium Fatahilah dengan menyetor 2K saja per orang. Sang Nyonya pun mulai beraksi dan saya yang mungkin sudah bosan pada tempat ini hanya bisa melihat kecerian sang Nyonya yang riweh mencari spot untuk jeprat jepret.

Fatahilah sudah dieksplor tapi masih belum juga membuat sang nyonya puas. Akhirnya kami putuskan untuk menggowes sepeda mengelilingi kawasan Kota Tua ini. Jakarta terik  hari itu dan es potong menemani kami melewati panasnya Jakarta. Hakim datang juga siang itu setelah menghadiri acara apa yah, entahlah saya lupa nama acaranya.  8 orang akhirnya terkumpul, Agung, Huda, Dea, Dani, Hakim, Esthi, Farida dan tentunya saya sendiri. Pas untuk merental 4 sepeda untuk menjamah tiap sudut kawasan ini. Dengan membayar 23ribu yang sudah dengan seorang guide berangkatlah kami menerjang teriknya Jakarta dengan pasangan masing-masing. Saya memilih Farida yang berbentuk minimalis, Esthi dengan Agung, Huda yang beruntung dengan Dani si seksi dan Nyonya Dea dengan Hakim.

And the journey begin...





 






Menyusuri pelabuhan Sunda Kelapa, masuk kedalam kapal angkutan barang dan mendapatkan info ke Belitong murah dengan menumpang kapal tersebut, merinding di Museum Bahari, pose di jembatan Kota Intan dan Toko Merah dan terakhir mengantarkan sang Nyonya kembali ke Bandung.

Walaupun sempat terbersit berkata tidak untuk kota tua tapi bersama mereka saya benar-benar menikmati romantisme abstrak yang tersaji lewat moment dan jepretan-jepretan gambar diatas.