Sabtu, 29 September 2012

Meraba Merbabu 3142 Mdpl

Mendadak terlintas untuk melupakan sejenak tumpukan-tumpukan dokumen yang tak kunjung menyusut di meja kerja saya. Mengabaikan kemacetan Jakarta yang setiap hari harus saya telan, mengacuhkan komputer dan laptop yang selalu saya "kerjai". Saatnya kembali mencumbu alam, kembali merasakan hangatnya mentari, merasakan segarnya air pegunungan...dan Merbabulah yang saya pikir bisa membuai dan melenakan saya dengan keanggunannya itu.

Secara administratif, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu terletak di 3 kabupaten, yaitu : Kabupaten Magelang, seluas 2.160 ha, Kabupaten Semarang, seluas 1.150 ha, Kabupaten Boyolali, seluas 2.415 ha (sumber dari merbabunationalpark.org). Pendakian Merbabu bisa dilalui melalui beberapa jalur, bisa melewati jalur Tekelan, Cuntel, Selo atau Wekas. Kali ini kami memilih jalur Wekas, jalur Wekas di mulai dari Desa Kaponan, Magelang. Dari Kaponan kami harus berjalan kaki menuju Desa Wekas, sebenarnya ada alternatif ojek dengan tarif 15K (lumayan mengirit tenaga sampai dengan pos pendaftaran). Sebenernya bukan lantaran 15K kami putuskan untuk berjalan, namun kami pikir kami akan mendapatkan cerita menarik dari hasil kami berjalan. Benar saja, mulai dari minta wortel dan daun seledri dari warga sekitar, menumpang mobil pick up yang mengantar sayur dari Desa Kaponan, sampai dengan bertemu dengan nenek yang memberikan kami nasihat untuk berbuat sopan di Merbabu nantinya. Seruuuu...dan yang pasti melelahkan.











Dari base camp di Wekas perjalanan dilanjutkan ke Pos I, kebetulan kami mulai pendakian selepas Magrib jadi kami memerlukan pandangan dan kewaspadaan ekstra untuk bisa mencapai Pos II. Tidak mudah memang untuk pendaki yang baru seperti saya dengan tracking menanjak dan curam, namun dengan keyakinan dan dukungan dari sahabat-sahabat saya yang luar biasa akhirnya saya mampu mencapai Pos II dan mendirikan tenda disana. Perjalanan kami lanjutkan esoknya, bersua dengan rekan-rekan dari Jogja namun sayang kami tidak mencapai summit. Walaupun kami tidak mencapai puncak karena waktu yang tidak memungkinkan, namun kami merasa perjalanan kali ini teramat luar biasa dan memastikan untuk kembali dan merasakan puncaknya melalui jalur Selo.

Hamparan bintang yang begitu indah di langit Merbabu, gumpalan-gumpalan awan yang terasa begitu dekat, cantiknya edelweiss, angkuhnya sang Semeru yang nampak dari kejauhan, semangat dan keceriaan sahabat-sahabat istimewa saya dan yang pasti....Mie terlezat yang pernah saya makan. Subhanallah....

Kamis, 27 September 2012

Reflection of The Day

"When you try your best but you don't succeed...When you get what you want but not what you need..When you feel so tired but you can't sleep...Stuck in reverse..", penggalan lagu Fix You-nya Coldplay mengalun di indra pendengar saya. Mendadak saya menggalau, entahlah...karena lirik lagu atau situasi yang "tepat" yang membuat saya sedikit agak lebay, memalukan memang tapi itulah yang terjadi. Toh menurut saya hal tersebut lumrah dan manusiawi ketika saya terjebak pada situasi "itu" dan bukanlah hal yang salah ketika saya membiarkan apa yang ada dipikiran saya mengalir keluar begitu saja.


Banyak hal yang bisa saya dapatkan ketika saya berbincang dengan sahabat-sahabat baru dengan latar belakang berbeda. Obrolan-obrolan panjang itu seakan membuka pandangan picik saya selama ini akan sesuatu yang "benar" dan yang "salah". Kisah bagaimana seorang sahabat merelakan dan mengubur dalam-dalam kesempatan untuk berkarir di luar negeri karena orang tua yang sakit keras, kisah sahabat lainnya yang harus bersandiwara pada keluarganya untuk menutupi identitas ke'gay'annya atau kisah lain yang biasanya saya lihat melalui sinetron-sinetron di televisi. Ini nyata dan apakah mereka gagal? Saya rasa tidak. Saya memang terlalu naif untuk mengambil kesimpulan dari pemikiran saya yang belum tentu benar. Mendengarkan sebenarnya bukanlah hal yang sulit, hanya membuat telinga bekerja lebih ekstra, memahami lebih dan berimajinasi. Dengan mendengarkan saya mendapatkan informasi lebih mengenai manusia sebenarnya

Sebungkus rokok dan secangkir coklat hangat menemani saya berfikir tentang ketidakpekaan saya terhadap passion yang se'harus'nya saya jalani dan tentang keberhasilan-keberhasilan yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Saya adalah manusia berhasil, buktinya? Saya adalah buah dari sel sperma dan ovum terbaik dengan wujud saya sekarang, saya berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar saya sedang diluar sana ada ratusan bahkan ribuan anak tak mampu mengecap bangku sekolah, saya pun berhasil membeli sepeda motor dengan uang saya sendiri walaupun dengan cicilan 36 kali. Bukankah itu suatu keberhasilan?

Thanks to : Oentoeng & Byan yang cukup menginspirasi tulisan ini. Sukses terus untuk kalian...

Selasa, 11 September 2012

Antara Bintang Laut Samalona, Tedong Toraja dan Kupu-kupu Bantimurung...

Yeeaahh...thanks to tiket promo, kali ini saya bisa ngetrip agak jauh sedikit ke arah timurnya Indonesia, yups...Sulawesi Selatan. Dengan mengantongi tiket promo dari salah satu maskapai penerbangan lokal dengan rute Jakarta-Surabaya-Makassar-Surabaya-Jakarta 320K, kamipun siap menjelajah dan menyasarkan diri di Makassar. Dari hasil kopdar kemarin akhirnya tercuatlah 3 destinasi utama kami, Tana Toraja, Tanjung Bira dan Bantimurung. Karena jarak antara Toraja dengan Bira yang cukup jauh, dan cuti yang hanya sehari,  dengan berat hati kamipun mencoret Tanjung Bira dari list tujuan kami dan berharap Samalona bisa menggantikan eksotisme Bira.

Hari pertama (Jumat, 31 Agustus 2012) :


Packing dadakan dan taraaaa....sarung kesayangan sayapun tertinggal dengan suksesnya. Absen pulang dan sayapun langsung tancap gas menuju stasiun Gambir untuk bertemu dengan Budel (Delima) dan Burete (Eno). Selepas shalat magrib kamipun menumpang DAMRI menuju Bandara Soetta untuk bertolak ke Surabaya dan melanjutkan perjalanan ke Makassar esoknya. Ketemu Iwan, boarding dan sejam kemudian tibalah kami di Surabaya dan cerita kamipun dimulai dari sini. 

Berbekal sleeping bag, kamipun tidur di Bandara Juanda malam itu. Oiya, karena sarung saya ketinggalan di rumah, maka dengan inisiatif tinggi saya pinjam sementara sarung dari mushola bandara...Ssssstttt, jangan diaduin sama petugasnya yaks...hari Senin dibalikin ke tempat semula kok hhehehehe. Malam itu kami berkenalan dengan mas Agung yang bekerja pada sebuah bank di Makassar dan akan terbang kembali esok menuju Yogyakarta. Perbincangan dengan mas Agung cukup menarik, mulai dari info soal Makassar, cerita mengenai istrinya yang cidera otot pasca melahirkan sampai tawaran tumpangan gratis di rumahnya yang terletak di Jl. A.Yani Makassar. Banyak hal positif yang saya dapatkan dari perbincangan dengan mas Agung. Selesai dengan mas Agung, datang Surya yang ternyata bertugas di Angkasa Pura Juanda Surabaya. Sosok gendut nan hitam yang lucu itu tergopoh-gopoh menghampiri kami sembari memperlihatkan tentengan berupa seplastik gorengan dan air mineral. Ngobrol ngalur ngidul ala travelers dan akhirnya sayapun menyerah pada rasa kantuk, cari posisi dan terlihat lorong kosong disertai lambaian stop kontak *lebay akut gara-gara hp-nya lowbat. Gelar sleeping bag, colok charger hp dan selang beberapa menit...sayapun tak tersadarkan diri dan Zzzz...Zzzz...Zzzz

Hari kedua (1 September 2012) :


Bangun kepagian karna pukul 04.00 WIB suasana bandara Juanda sudah mulai bising. Masih leyeh leyeh dan gak sangka ternyata sudah pukul 06.15 WIB dan toa bandara sudah memanggil kami untuk segera naik ke pesawat karena pesawat akan take off tepat pukul 06.25 WIB. Kembali lari-lari dan beruntung kita dapat nomer kursi paling depan, jadi kami ga perlu mengeluarkan energi extra untuk bisa duduk di kursi kami masing-masing. Setelah ransel-ransel itu bersemayam dengan tenang, kamipun kembali melanjutkan tidur yang sempat terganggu. 1,5 jam berlalu, kamipun tiba di Tanah Daeng...Makassar. Saat itu sudah pukul 09.05 WITA. Untungnya kami sudah melakukan pemesanan untuk sewa kendaraan selama kami berada di Sulawesi Selatan, secara itung-itungan sih jauh lebih murah sewa kendaraan ketimbang ngeteng hehehehe. Tak lama kami keluar bandara, sebuah Xenia hijau datang meghampiri kami dan seorang pemuda mengenalkan diri sebagai driver kami, namanya Yudi. Sebenarnya Iwan dan Eno sudah mengenal Yudi, maklum saja mereka masih bernaung pada perusahaan yang sama. Plan kami hari ini adalah ke Samalona, maksudnya sih biar sekalian mandi, secara dari pulang kantor sampai dengan detik ini kami belum sempat mandi, bukan kebetulan loh tapi memang plannya sperti itu xixixixi. Sebelum menuju Samalona semangkuk coto Makassar di Jl Gagak menjadi korban sarapan kami. Alhamdulillah kenyang...dan kamipun langsung bergegas menuju dermaga Popsa karena keluarga Naim sudah menanti disana. Naim merupakan rekan kerja dari Iwan dan Eno yang stay di Makassar *kembali berfikir bahwa dunia itu ternyata benar-benar kecil. Reuni kecil pun terjadi antara Naim, Iwan, Yudi dan Eno hahahhaa. Oiya, kami menyewa speed boat untuk mencapai Samalona, jadi waktu yang kita butuhkan untuk mencapai kesana sekitar 30 menit saja. Tiba di Samalona dan cebuuurrrrr...sayapun segera membenamkan tubuh saya yang sudah gerah ke hamparan air laut yang cukup asin itu...




Samalona merupakan pulau kecil di selat Makassar, pulau yang dimiliki oleh 7 kepala rumah tangga ini luasnya hanya sekitar 2,3 hektar dan semakin hari luasnya semakin menyusut. Pulau kecil ini tidak dikelola dengan baik, jadi warga yang tinggal disana dengan seenaknya memberikan harga yang lumayan fantastis untuk fasilitas seadanya. Pengalaman tidak menyenangkan dengan pulau inipun kami alami. Kami sudah memesan bale-bale untuk tempat kami beristirahat, saat makan siang kami memang duduk dibale-bale yang bersebelahan dengan bale yang kami sewa, itupun hanya sebentar. Bisa ditebak jalan ceritanya kan? Yuppp, kami harus membayar kedua bale-bale tersebut, ya sudahlah *ngelus dada mencoba ikhlas. Lain bale-bale, lain pula dengan kamar mandinya, fasilitas kamar mandi yang saya rasa biasapun dibandrol 50K untuk pemakaian sepuasnya atau bayar 5K untuk sekali masuk...ckckck. Sebenernya saya bermaksud untuk bersnorkeling ria namun saya urungkan karena sewa alatnya sendiri sudah 50K dan sepengelihatan saya disekitaran pulau tidak terlalu bagus untuk bersnorkeling, mungkin agak menjauh sedikit baru bisa bertemu ikan-ikan warna warni, jadi cukuplah bagi saya untuk berendam dan sesekali bertemu dengan bulu babi dan bintang laut hehehehe. Yang pasti tidak akan pernah ada kata menyesal pada kamus saya untuk menyambangi tempat baru...hahahaha, coba foto prewed ah *colek burete. Sekitar pukul 15.00 WITA kamipun bergegas kembali ke Makassar, ombak yang semakin meninggi membuat saya terkadang menghela napas sembari berteriak, "yeeeeeaaaahhhh !!!

Tiba di Makassar dan kamipun berpisah dengan keluarga Naim. Saya sendiri masih merasakan kehangatan keluarga itu, terutama ibunda Naim yang baiknya Ori bukan Kw *tepok jidat. "Makasih banyak ya tante buat nasi kuning dan kecupan pipinya hehehehe.

Melewati pantai Losari dan terdamparlah kami di Fort Rotterdam, salah satu tempat bersejarah yang ada di Makassar. Benteng yang dibangun pada masa kerajaan Gowa ini memang indah dinikmati sore hari, kita bisa menikmati matahari terbenam dari atas sudut benteng sembari melihat lalu lalang orang yang melintasi jalan disepanjang pantai Losari ini. Berdasarkan info yang saya dapatkan, Fort Rotterdam ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Filosofinya jelas, bahwa Kerajaan Gowa dapat berjaya baik didarat maupun di lautan seperti halnya penyu yang dapat hidup di darat dan di laut. Oiya, ternyata Pangeran Diponegoro juga pernah ditahan ditempat ini loh. Mampir ke toko Unggul untuk beli oleh-oleh karena kemungkinan kami tak akan sempat untuk membeli oleh-oleh di Makassar.






Setelah rasa penasaran kami terhadap benteng ini sudah terlampiaskan, tibalah waktunya kami bersiap untuk menempuh perjalanan panjang ke utaranya Sulsel. Mampir ketempatnya Yudi untuk beristirahat sebentar dan membersihkan badan setelah 2 hari tidak mandi. Alhamdulillah, kami "dipaksa" untuk makan malam dan masih dibekali kue lebaran...senangnya....

Hari ketiga ( 2 September 2012) :

Perjalanan yang cukup melelahkan, 9 jam perjalanan yang benar-benar menguras tenaga namun terbayar dengan keindahan yang menyelimuti Toraja. Sekitar pukul 05.30 WITA kami singgah pada sebuah warung dan menyempatkan untuk menyeruput kopi di pagi yang cukup dingin itu. Hamparan sawah dan birunya perbukitan membuat kopi kali ini terasa luar biasa nikmat. Sluuurrrppp...perlahan cairan hitam itu semakin habis, saya benar-benar menikmati hidup yang luar biasa kali ini. Kembali melanjutkan perjalanan ke Rantepao....





Setelah berputar-putar di kota Toraja akhirnya sampai juga kami di Rantepao, dan Ke'te Kesu yang menjadi tujuan pertama kami. Mungkin saya tidak bisa menjelaskan secara detail ada apa ditempat ini.  Ke'te Kesu adalah suatu tempat yang merupakan pusat kegiatan dimana terdapat perkampungan masyarakat Toraja yang masih memegang teguh budayanya. Tongkonan (rumah adat Toraja) terlihat megah dan disudut lain terdapat lumbung padi dan tedong (kerbau) yang sedang merumput. Bangunan-bangunan sisa masa megalitikum pun terhampar ditempat ini.Watch your step, karena ranjau (kotoran tedong) bisa semena-mena berada dijalan. Agak shock juga sih awal-awalnya, karena tengkorak dan tulang belulang manusia berceceran dimana-mana, tapi sepertinya hal itu sudah menjadi lumrah bagi masyarakat Toraja. Selain itu ada patung kayu yang dipahat menyerupai bentuk babi atau kerbau, patungnya bener-bener mirip loh...hahahaha.
 









Lanjut ke Londa...
Londa adalah bebatuan curam di sisi makam khas Toraja. Salah satunya terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dimana peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Masuk kedalam gua dan suasana mistis kental terasa, menyusri tiap lorong gua dan mendapati peti mati dan tumpukan tulang belulang dan kami sampai pada lorong yang sempit sehingga kami harus merangkak maju dengan kondisi gua yang lumayan redup. Dengan susah payahnya, kamipun lolos melewati gua tersebut dan Iwan yang mempunyai postur "sehat" akhirnya bisa bernapas lega hahahaha.




Lemo...
Lemo biasa disebut sebagai tempat para arwah, Di pemakaman Lemo kita bisa melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Mengelilingi Lemo kita bisa melihat tebing curam berisi kuburan manusia dan hamparan sawah menghijau yang menyejukkan mata, ditambah udara segar untuk di hirup sebagai bonus perjalanan kali ini. Jadi, Lemo sendiri bisa dikatakan sebagai perpaduan antara kematian, seni, ritual dan keindahan.



Next...Kambira...

Tiba di Kambira sudah menjelang magrib, jadi rada parno sedikit sampe ditempat ini. Kami hanya butuh waktu 10 menit saja untuk mencoba "menikmati" tempat ini. Di Kambira, bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang yang dibuat di pohon Tarra‘. Bayi yang belum tumbuh gigi ini dianggap masih suci. Pohon Tarra‘ dipilih sebagai tempat menguburkan bayi, karena pohon ini memiliki banyak getah, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan menguburkan bayi di pohon Tarra‘, orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya. Mereka berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian (informasi diperoleh dari http://portalbugis.wordpress.com/travel/sejarah/kambira/).
Sebelum menuju Kambira kami sempat melihat plang pemandian air panas Makula yang arahnya sejalur dengan Kambira, suhu dingin Toraja memang harus dilawan dengan berendam di air panas. Pemandian ini ternyata menyatu pada hotel. Setibanya disana ternyata kami melihat sepasang turis asal Perancis sedang melakukan penawaran yang cukup alot dengan petugas hotel, kami coba membantu ternyata tetep gak bisa juga...Sorry ya Andrea (nama si bule). Air hangat yang mengandung belerang itu ternyata berasal dari mata air yang berada di gunung sekitar Sanggala, walaupun airnya tidak begitu terasa hangat tapi lumayanlah untuk mengendorkan otot dan syaraf yang memang butuh relaksasi.

Hari keempat (3 September 2012) :

Kembali menuju Makassar...
Tiba di Pare-pare pukul 05.00 WITA dan kembali mata kami disuguhkan dengan suasana pantai. Istirahat kembali untuk memulihkan rasa kantuk dan badan yang masih pegal karena perjalanan panjang dari Toraja. Tujuan kami kali ini adalah Bantimurung di Kabupaten Maros, dan baterai kamera saya pun lowbat..perfect !!!. Tiba di Bantimurung dan kami disambut dengan patung Kupu-kupu dan Gorila besar. Dengan membayar tiket masuk 15K kita bisa menikmati segarnya air terjun ditemani dengan kupu-kupu yang beterbangan disekitarnya, atau melihat proses metamorfosis kupu-kupu di Museum Kupu-kupu. Gua mimpi dan Gua Batu juga bisa menjadi alternatif untuk bisa menelusuri dan merasakan indahnya stalagtit dan stalagmit.




Maksud hati ingin menjamah Gua mimpi, tapi apalah daya ternyata kami berempat tidak rela harus mengeluarkan 150K hanya untuk sewa lampu dan guide. Gua Batu akhirnya menjadi sasaran kami, cukup dengan membayar 30K setidaknya kami tidak dihantui rasa penasaran untuk masuk mengetahui isi gua. Puas menjamah Bantimurung, Konro Bakarpun menjadi sasaran kami kali ini. Bukan di Karebossi, namun setidaknya tak lengkap bila datang ke Makassar tanpa mencicipi Konro Bakar. Final destination...Sultan Hassanudin Airport.

Usai sudah cerita kami kali ini, kembali ke Surabaya untuk mengembalikan sarung yang saya "pinjam" dari mushola bandara, dan delay 2 jam penerbangan ke Jakarta. 

Terima kasih untuk Delima, Eno, Iwan, Yudi and Family, Naim and Family yang sudah membuat trip saya menjadi luar biasa.