 |
Toegoe |
Belum
puas rasanya saya menikmati Gunung Kidul dengan cara berbasah basah ria
cave tubing Kalisuci dan berburu sunset di Sundak, namun sang waktu
menyadarkan saya untuk segera kembali pada realita. Di ujung sana terlihat bus mikro yang sudah siap mengantarkan saya kembali pada peradaban. Headset terpasang dan sayapun siap mengadapi perjalanan ini dengan memutar koleksi mp3 dihandphone saya. Accidentally in Love-nya Counting Crows perlahan mulai memenuhi
indra pendengaran saya., penat yang bergelayut akibat perjalanan
yang harus ditempuh selama 2 jam lebih akhirnya berangsur-angsur berganti dengan picingan mata lantaran silaunya lampu-lampu yang
menghiasi kota Jogja malam itu.
Bus mikro itupun membawa saya ke daerah Malioboro, sebenernya sih membawa "kita", karena saat itu saya tidak pergi sendiri tetapi bersama sahabat-sahabat istimewa saya. Berhubung malam itu bertepatan dengan malam satu suro (1 Muharam), Malioboro ditutup untuk kendaraan umum dan pribadi, sehingga kamipun terpaksa berjalan kaki menyusuri Malioboro.
Pukul 20.04 wib, tak terasa cukup lama kami menahan lapar. Awalnya kami ingin mencicipi
kuliner Jogja di House of Raminten tapi perut kami berkata lain,
angkringan Lek Man di seberang stasiun Tugu menjadi sasaran empuk
nafsu lapar kami.
 |
Angkringan Lek Man |
Angkringan Lek Man sama halnya seperti
angkringan-angkringan pada umumnya. Menu yang ditawarkan pun hampir sama, nasi kucing (nasi
dengan porsi yang hanya sekepal), aneka gorengan, sate usus, sate
ampela, sate telor puyuh dan menu ringan lainnya. Suasana yang hangat dan akrab tidak membuat saya heran bila angkringan dijadikan media 'nongkrong' warga Jogja. Terlihat sekumpulan
anak muda duduk lesehan dengan laptopnya sedang
asik berdiskusi mengenai tugas kampusnya. Di sudut lain, 4 orang yang saya
taksir berusia 40 tahunan juga terlihat dengan asyiknya berbincang mengenai kondisi
politik sembari menyeruput kopi Joss. Sebagai informasi, kopi Joss
adalah kopi tubruk panas yang diberi arang membara. Begitu arang dimasukkan maka kopi akan mengeluarkan suara josss kencang sehingga
terciptalah nama kopi itu.
Penasaran dengan kopi joss, akhirnya saya dan Irma memesan secangkir kopi joss. Pada awalnya saya agak ragu menyruput kopi tersebut, maklumlah...ada sebongkah arang hitam yang mengapung disitu. Saya memang bukan pecinta kopi, tapi kopi plus arang
ini bisa jadi rekomendasi bagi anda yang ingin merasakan sensasi
menyeruput kopi dengan sajian yang berbeda, hehehehe.
 |
Kopi Joss |
Jogja benar-benar hangat malam itu,
suasana makan dipinggir Jl Mangkubumi semakin lengkap dengan
adanya iringan kecapi yang mendedangkan lagu-lagu Jawa, luar biasa
mendamaikan jiwa. Selang beberapa saat, bunyi
gong ditabuh menggema dan iring-iringan pawai dan gunungan yang berupa
tumpeng besar dihiasi dengan hasil bumi terlihat mulai memadati Jl. Mangkubumi menuju Malioboro. Tampak dari depan terlihat
sekumpulan laki-laki menggunakan gamis putih layaknya sang kyai diikuti
oleh warga yang mengenakan kebaya dan beskap dengan dupa ditangannya.
Aroma mistis saya rasakan ketika hidung saya mencium bau dupa dan
tabuhan gong yang sesekali berbunyi. Terang saja ada iring-iringan
seperti itu karena malam itu adalah malam 1 Suro yang menurut kalendar
Islam merupakan tahun baru Islam 1 Muharam. Beberapa warga yang masih
'kejawen' menyambut malam 1 suro dengan ritual tapa wicara alias tidak
berbicara. Apa rasanya yah seharian gak ngomong? mmmmhhhh....
 |
With bang Andhy Item |
Perut kenyang...done, saatnya kami menyusuri jalan Mangkubumi menuju
Tugu yang menjadi ikon kota Jogja. Berjalan sekitar 20 menit dan
terlihat Tugu yang tidak terlalu tinggi dikelilingi oleh sekumpulan
warga dan kembali saya melihat warga yang mungkin berencana bermalam
didepan tugu yang berbalut kebaya dan surjan dengan sesajian dan
dupa.
 |
Narsis di Tugu |
Mencoba menghormati tradisi tanpa mengabaikan sisi agamis menurut saya adalah hal bijak yang bisa kita lakukan. Saya menganggap hal tersebut hanya sebatas ritual turun temurun yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Jogja, tidaklah bijak bila kita menghubung-hubungkan tradisi tersebut dengan issue yang berbau sara (musyrik atau sejenisnya), toh sebagai bangsa Indonesia seharusnya kita bisa berbangga diri dengan keanekaragaman budaya yang kita punya.
Malampun semakin larut...saatnya kami mengakhiri malam satu suro di kota gudeg ini.