Senin, 07 November 2011

Antara Tugu, Angkringan dan Kopi Joss

Toegoe
Belum puas rasanya saya menikmati Gunung Kidul dengan cara berbasah basah ria cave tubing Kalisuci dan berburu sunset di Sundak, namun sang waktu menyadarkan saya untuk segera kembali pada realita.  Di ujung sana terlihat bus mikro yang sudah siap mengantarkan saya kembali pada peradaban. Headset terpasang dan sayapun siap mengadapi perjalanan ini dengan memutar koleksi mp3 dihandphone saya. Accidentally in Love-nya Counting Crows perlahan mulai memenuhi indra pendengaran saya., penat yang bergelayut akibat perjalanan yang harus ditempuh selama 2 jam lebih akhirnya berangsur-angsur berganti dengan picingan mata lantaran silaunya lampu-lampu yang menghiasi kota Jogja malam itu.

Bus mikro itupun membawa saya ke daerah Malioboro, sebenernya sih membawa "kita", karena saat itu saya tidak pergi sendiri tetapi bersama sahabat-sahabat istimewa saya. Berhubung malam itu bertepatan dengan malam satu suro (1 Muharam), Malioboro ditutup untuk kendaraan umum dan pribadi, sehingga kamipun terpaksa berjalan kaki menyusuri Malioboro. 

Pukul 20.04 wib, tak terasa cukup lama kami menahan lapar. Awalnya kami ingin mencicipi kuliner Jogja di House of Raminten tapi perut kami berkata lain, angkringan Lek Man di seberang stasiun Tugu menjadi sasaran empuk  nafsu lapar kami. 


Angkringan Lek Man
Angkringan Lek Man sama halnya seperti angkringan-angkringan pada umumnya. Menu yang ditawarkan pun hampir sama, nasi kucing (nasi dengan porsi yang hanya sekepal), aneka gorengan, sate usus, sate ampela, sate telor puyuh dan menu ringan lainnya. Suasana yang hangat dan akrab tidak membuat saya heran bila angkringan dijadikan media 'nongkrong' warga Jogja. Terlihat sekumpulan anak muda duduk lesehan dengan laptopnya sedang asik berdiskusi mengenai tugas kampusnya. Di sudut lain, 4 orang yang saya taksir berusia 40 tahunan juga terlihat dengan asyiknya berbincang mengenai kondisi politik sembari menyeruput kopi Joss. Sebagai informasi, kopi Joss adalah kopi tubruk panas yang diberi arang membara. Begitu arang dimasukkan  maka kopi akan mengeluarkan suara josss kencang sehingga terciptalah nama kopi itu.

Penasaran dengan kopi joss, akhirnya saya dan Irma memesan secangkir kopi joss. Pada awalnya saya agak ragu menyruput kopi tersebut, maklumlah...ada sebongkah arang hitam yang mengapung disitu. Saya memang bukan pecinta kopi, tapi kopi plus arang ini bisa jadi rekomendasi bagi anda yang ingin merasakan sensasi menyeruput kopi dengan sajian yang berbeda, hehehehe.

Kopi Joss

Jogja benar-benar hangat malam itu, suasana makan dipinggir Jl Mangkubumi semakin lengkap dengan adanya iringan kecapi yang mendedangkan lagu-lagu Jawa, luar biasa mendamaikan jiwa. Selang beberapa saat, bunyi gong ditabuh menggema dan iring-iringan pawai dan gunungan yang berupa tumpeng besar dihiasi dengan hasil bumi terlihat mulai memadati Jl. Mangkubumi menuju Malioboro. Tampak dari depan terlihat sekumpulan laki-laki menggunakan gamis putih layaknya sang kyai diikuti oleh warga yang mengenakan kebaya dan beskap dengan dupa ditangannya. Aroma mistis saya rasakan ketika hidung saya mencium bau dupa dan tabuhan gong yang sesekali berbunyi. Terang saja ada iring-iringan seperti itu karena malam itu adalah malam 1 Suro yang menurut kalendar Islam merupakan tahun baru Islam 1 Muharam. Beberapa warga yang masih 'kejawen' menyambut malam 1 suro dengan ritual tapa wicara alias tidak berbicara. Apa rasanya yah seharian gak ngomong? mmmmhhhh....

With bang Andhy Item
Perut kenyang...done, saatnya kami menyusuri jalan Mangkubumi menuju Tugu yang menjadi ikon kota Jogja. Berjalan sekitar 20 menit dan terlihat Tugu yang tidak terlalu tinggi dikelilingi oleh sekumpulan warga dan kembali saya melihat warga yang mungkin berencana bermalam didepan tugu yang berbalut kebaya dan surjan dengan sesajian dan dupa. 


Narsis di Tugu
Mencoba menghormati tradisi tanpa mengabaikan sisi agamis menurut saya adalah hal bijak yang bisa kita lakukan. Saya menganggap hal tersebut hanya sebatas ritual turun temurun yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Jogja, tidaklah bijak bila kita menghubung-hubungkan tradisi tersebut dengan issue yang berbau sara (musyrik atau sejenisnya), toh sebagai bangsa Indonesia seharusnya kita bisa berbangga diri dengan keanekaragaman budaya yang kita punya. 

Malampun semakin larut...saatnya kami mengakhiri malam satu suro di kota gudeg ini.