Sebenernya postingan ini tuh harusnya released bulan Januari-Februari kemaren, tapi karena bulan itu saya lagi berantem sama laptop saya si "Laptoporosis" jadi ga sempet ngelirik blog butut saya, setidaknya sekarang saya sudah mulai baikan lagi dengan si "Laptoporosis", and here is the story...
Imlek tahun ini tak perlulah ke Singkawang, cukup di kawasan Petak Sembilan Glodok, Jakarta Barat saja. Mencoba meracuni Burete (Eno), Ambar, Mba Ade dan Uda Achyar untuk berimlekan bareng. Iming2 nyari kuwaci, kue keranjang, dan ngecenging cici+koko membuat kami sepakat bertemu di halte busway Glodok.
Maklum di Indonesia, janjiannya sih jam 09.00 tapi menjelang jam 10.00 anak-anak baru pada menampakkan batang hidungnya. Dan disinilah kami, setelah sekian lama tak bersua. Banyak cerita mengalir dengan mulusnya dari mulut kami, dari Ambar yang melancong ke Asia tenggara, Uda Achyar yang ke Bira dan cerita menarik lainnya dari Burete dan Mba' Ade. Sembari bercerita kamipun mulai menyusuri kawasan pecinan ini. Terlihat banyak fotographer dan turis mendatangi daerah tersebut. Selain itu, banyak juga koko dan cici yang seliweran disekitaran kami...Ada Andy Lau eh ada Gong Li juga eh ada...Gum, wake up !!! You are in Glodok, not in Beijing !!! *digetok Ambar.
Tahun baru imlek 2563 semakin semarak dan penuh warna, cantiknya lampion dengan baluran warna merah dan emas mendominasi kawasan ini, serta adanya lilin-lilin raksasa yang tingginya bahkan melebihi tinggi saya...sesuatu yang menarik bukan?. Klenteng-klenteng saat itu memang sedang ramai dikunjungi etnis Tionghoa dan pemburu foto tentunya. Sebagai contoh Wihara Dharma Bhakti, wihara ini nampak begitu sesak dengan ramainya orang-orang yang ingin melakukan prosesi sembahyang namun disudut lain tempat ini nampak begitu ramai dengan orang-orang ingin merasakan suasana didalam klenteng, termasuk saya yang "kepo"nya udah pada tahap akut. Pokoknya saya harus masuk dan menjarah...loh? maap, maksudnya masuk dan menjelajah si klenteng ini.
Klenteng sendiri merupakan tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia, karena di Indonesiapenganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan istilah tokong Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara (sumber dari wikipedia).
Imlek tahun ini tak perlulah ke Singkawang, cukup di kawasan Petak Sembilan Glodok, Jakarta Barat saja. Mencoba meracuni Burete (Eno), Ambar, Mba Ade dan Uda Achyar untuk berimlekan bareng. Iming2 nyari kuwaci, kue keranjang, dan ngecenging cici+koko membuat kami sepakat bertemu di halte busway Glodok.
Maklum di Indonesia, janjiannya sih jam 09.00 tapi menjelang jam 10.00 anak-anak baru pada menampakkan batang hidungnya. Dan disinilah kami, setelah sekian lama tak bersua. Banyak cerita mengalir dengan mulusnya dari mulut kami, dari Ambar yang melancong ke Asia tenggara, Uda Achyar yang ke Bira dan cerita menarik lainnya dari Burete dan Mba' Ade. Sembari bercerita kamipun mulai menyusuri kawasan pecinan ini. Terlihat banyak fotographer dan turis mendatangi daerah tersebut. Selain itu, banyak juga koko dan cici yang seliweran disekitaran kami...Ada Andy Lau eh ada Gong Li juga eh ada...Gum, wake up !!! You are in Glodok, not in Beijing !!! *digetok Ambar.
Tahun baru imlek 2563 semakin semarak dan penuh warna, cantiknya lampion dengan baluran warna merah dan emas mendominasi kawasan ini, serta adanya lilin-lilin raksasa yang tingginya bahkan melebihi tinggi saya...sesuatu yang menarik bukan?. Klenteng-klenteng saat itu memang sedang ramai dikunjungi etnis Tionghoa dan pemburu foto tentunya. Sebagai contoh Wihara Dharma Bhakti, wihara ini nampak begitu sesak dengan ramainya orang-orang yang ingin melakukan prosesi sembahyang namun disudut lain tempat ini nampak begitu ramai dengan orang-orang ingin merasakan suasana didalam klenteng, termasuk saya yang "kepo"nya udah pada tahap akut. Pokoknya saya harus masuk dan menjarah...loh? maap, maksudnya masuk dan menjelajah si klenteng ini.
Klenteng sendiri merupakan tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia, karena di Indonesiapenganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan istilah tokong Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara (sumber dari wikipedia).
Kembali ke imlek, saat itu klenteng memang terbuka untuk umum, jadi selain etnis Tionghoa terlihat juga beberapa bule dan warga lokal wara wiri disana. Bau hio (dupa) dan lilin yang dibakar mengepulkan asap yang membuat perih mata, di sudut lain terdapat sesajian yang diperuntukkan untuk Dewa maupun Dewi menurut kepercayaan mereka. Hadeeehhh...ga bisa dilewatkan neh, klentengnya keren dan kita harus pose...hahahahaa. Narsis timeeee...*jepret
Mata sudah sangat-sangat pedih karena asap dari ribuan hio yang dibakar, kamipun bergegas keluar menuju kerumunan diluar sana. Pertunjukan barongsay yang sangat-sangat atraktif tampil memukau diringi dengan liukan sang naga. Namun sayang, di sudut lain terdapat pemandangan yang sangat kontras dengan kemeriahan imlek. Puluhan pengemis duduk bergerombol dipintu keluar klenteng, mereka tidak sendiri...anak-anak mereka pun dibawa bersama mereka dan sedihnya lagi mereka dipaksa untuk menahan teriknya panas Jakarta...Ckckck.
Puas sudah kami menjelajah klenteng ini, waktunya berburu oleh2...yyyiiihaaaa...kue keranjang, bakpao, kuwaci, es susu kedelai, coklat rocka...I'm coming :)
Usai sudah berburu kuwacinya, seru dan pastinya menyenangkan karena saya ditemani oleh sahabat-sahabat istimewa saya. Saatnya melanjutkan ke destinasi berikutnya dan bertemu dengan Budel (Delima) dipasar Asemka.
Mata sudah sangat-sangat pedih karena asap dari ribuan hio yang dibakar, kamipun bergegas keluar menuju kerumunan diluar sana. Pertunjukan barongsay yang sangat-sangat atraktif tampil memukau diringi dengan liukan sang naga. Namun sayang, di sudut lain terdapat pemandangan yang sangat kontras dengan kemeriahan imlek. Puluhan pengemis duduk bergerombol dipintu keluar klenteng, mereka tidak sendiri...anak-anak mereka pun dibawa bersama mereka dan sedihnya lagi mereka dipaksa untuk menahan teriknya panas Jakarta...Ckckck.
Puas sudah kami menjelajah klenteng ini, waktunya berburu oleh2...yyyiiihaaaa...kue keranjang, bakpao, kuwaci, es susu kedelai, coklat rocka...I'm coming :)
Usai sudah berburu kuwacinya, seru dan pastinya menyenangkan karena saya ditemani oleh sahabat-sahabat istimewa saya. Saatnya melanjutkan ke destinasi berikutnya dan bertemu dengan Budel (Delima) dipasar Asemka.
Tulisannya informatif, sebagai traveller spesialis penikmat bangunan klasik saya merasa malu belum pernah mengunjungi petak sembilan, apalagi saya sudah pernah ke singkawang & sudah stay di jakarta selama 3 tahun. Mudah2an terealisasi.
BalasHapusfakh m
Makasih atas kunjungannya ya bang. Udah ke kota tua kan? Coba sewa sepeda trus ngonthel seputaran sana. Banyak bangunan klasik yang bisa dinikmati layaknya Malaka.
BalasHapusTerms Of Service https://www.windsurf.co.uk/
BalasHapusTerms Of Service https://www.windsurf.co.uk/
Terms Of Service https://www.windsurf.co.uk/
Terms Of Service https://www.windsurf.co.uk/
Terms Of Service https://www.windsurf.co.uk/
Terms Of Service https://www.windsurf.co.uk/